Bisnis.com, JAKARTA – Risiko eksternal masih menjadi momok bagi perekonomian Indonesia 2015 sehingga pemerintah kembali mematok pertumbuhan pada rentang konservatif 5,5%-6,3%.
Menteri Keuangan M. Chatib Basri menyampaikan potensi gejolak likuiditas global masih ada seiring exit policy kebijakan moneter longgar di negara-negara maju yang merupakan konsekuensi pemulihan ekonomi di Amerika Serikat dan kawasan Eropa.
Kebijakan pengetatan moneter di negara maju itu berisiko memantik pembalikan arus modal di negara-negara berkembang.
“Tekanan arus modal keluar tentu akan berpengaruh pada rupiah dan lain-lain. Saya tidak tahu BI (Bank Indonesia) mau merespons bagaimana, apakah pengetatan moneter atau apa. Tapi, itu yang membuat range-nya pada 5,5%-6,3%,” katanya dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2014, Rabu (30/4/2014).
Seperti diketahui, jika kebijakan pengetatan moneter dipertahankan, maka perlambatan investasi sejak paruh kedua 2013 akan berlanjut.
Pada saat yang sama, perlambatan ekonomi China ke kisaran 7% berisiko membuat harga komoditas melanjutkan pelemahan. Dampaknya, ekspor Indonesia kemungkinan tidak terlalu melesat meskipun lebih baik karena pemulihan permintaan produk manufaktur dari AS.
Tantangan eksternal itulah yang membuat pertumbuhan ekonomi dirancang dengan batas bawah 5,5%.
Meskipun demikian, kata Chatib, ada peluang pertumbuhan mengarah ke batas atas jika normalisasi kebijakan the Fed dilakukan perlahan sehingga arus modal keluar dapat ditahan.
Selain itu, jika inflasi terkendali, kontribusi konsumsi rumah tangga tetap di atas 50% terhadap produk domestik bruto (PDB), maka kans pertumbuhan ekonomi ke arah 6% terbuka lebar.
Skenario konservatif yang disusun pemerintah sesungguhnya tidak jauh bergeser dari kondisi 2014. Tahun ini, pemerintah mematok asumsi pertumbuhan ekonomi 6% yang kemudian dikoreksi ke kisaran 5,8%-6% dalam outlook terbaru.