Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia diproyeksi mempertahankan kebijakan ketat, sekalipun the Federal Reserve mengisyaratkan pelonggaran moneter akan berlangsung lebih lama.
Ekonom DBS Bank Gundy Cahyadi menyebutkan tiga faktor yang menjadi pertimbangan bank sentral untuk tidak memangkas BI rate lebih lanjut, setelah penurunan 25 basis poin menjadi 7,5% bulan ini.
Pertama, pertumbuhan ekonomi yang melambat selama dua tahun terakhir akan diakselerasi melalui kebijakan fiskal yang ekspansif. Otoritas moneter tidak perlu turun tangan menyesuaikan suku bunga.
Kedua, BI menargetkan real interest rate atau selisih antara suku bunga dan inflasi sebesar 1,5% tahun ini. Jika inflasi diekspektasi mendekati 6% maka BI rate kemungkinan tetap berkisar pada level saat ini.
Ketiga, defisit transaksi berjalan masih menjadi risiko ke depan. BI mencatat defisit transaksi berjalan tahun lalu 2,95% terhadap produk domestik bruto. Tahun ini diproyeksi 3% atau masih jauh dari level sehat 2,5% terhadap PDB menurut BI.
"The Fed yang terkesan belum akan segera menaikkan Fed fund rate memang memberi ruang kepada BI untuk menurunkan suku bunga. Tetapi, itu tidak akan dilakukan BI mengingat masih banyak tekanan terhadap rupiah," katanya, Rabu (25/2/2015).
Gubernur the Fed Janet Yellen di depan Komite Perbankan Senat, Selasa (24/2) waktu setempat, memaparkan pasar tenaga kerja Amerika Serikat belum sepenuhnya pulih meskipun beberapa indikator ekonomi kunci meningkat pada level yang solid.
Proyeksi Negeri Paman Sam pun masih digelayuti perlemahan ekonomi global, pertumbuhan upah yang mandek, dan disinflasi. []