Bisnis.com, JAKARTA- Menteri Keuangan Chatib Basri tidak puas atas jawaban Kementerian Perindustrian terkait dampak penghematan BBM berusbsidi atas insentif diskon atau penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PpnBM) untuk kendaraan bermotor roda empat yang hemat energi dan harga terjangkau (low cost and green car/ LCGC) ditujukan untuk konsumen.
Perlu diketahu, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 41/2013 tentang Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah mengatur mengatur pemberian potongan dan penghapusan PpnBM bagi mobil yang memenuhi persyaratan.
Secara umum, memenuhi kualifikasi sebagai mobil ramah lingkungan, mendukung upaya penghematan konsumsi BBM, serta memanfaatkan energi alternatif lainnya. Yakni, melalui program mobil emisi rendah (LEC), termasuk LCGC.
Adapun, PP itu memberikan diskon mulai dari 10% hingga 100%. Untuk bisa menikmati diskon PpnBM 100%, produsen LCGC harus memenuhi sejumlah syarat. Termasuk kewajiban memproduksi komponen di dalam negeri dalam kurun waktu 5 tahun.
Terkait surat Menteri Keuangan (Menkeu) yang mempertanyakan dampak penghematan BBM berusbsidi, Hidayat menjawabnya langsung dihadapan Menkeu Chatib usai melakukan pertemuan di Kemenperin.
Menurut Hidayat, program LCGC dilaksanakan dengan latar belakang mengimbangi kompetisi dan impor kendaraan khususnya dari Asean, mendiring investasi, mendiring kemandirian Indonesia di bidang teknologi otomotif, dan mendorong produksi mobil yang hemat pemakaian BBM.
“Hingga saat ini sudah ada lima merek/APM yang terlobat dalam program produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang hemat energi dan Harga Terjangkau (KBH2), dengan nilai investasi total mencapi US$6,5 miliar,” kata Hidayat di Kemenperin.
Selain itu, adanya program KBH2 juga menumbuhkan pabrik komponen baru dan perluasan lebih dari 100 pabrik yang memproduksi komponen pendukung.
Mendengar jawaban tersebut, Menkeu Chatib mengakui bahwa dari sisi pajak memang ada pendapatan tambahan dari program tersebut. Begitu juga dengan adanya investasi pendukung yang masuk.
“Itu bukan fokus yang utama, tetapi concern pada penggunaan BBM bersubsidi, pada subsidi BBM, ini yang harus dicari solusinya bersama-sama. Kami realistis mengharapkan tidak boleh ada penggunaan BBM bersubsidi,” jawab Chatib.
Pada sisi lain, menurut Hidayat, sanksi berupa pencabutan fasilitas fiskal dapat diberikan pada produsen yang tidak menepati persyaratan dalam surat Keputuan Menperin.
Sedangkan sanksi di operasional pengisian BBM di SPBU sebaiknya dikoordinasikan dengan institusi terkait karena melibatkan banyak otoritas.
“Aturannya dikenakan sanksi, tetapi Menko tidak setuju waktu itu, kami sedang cari sulusinya,” tambah Hidayat.