Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto mengatakan, ketiadaan roadmap pengelolaan kehutanan menjadi pangkal masalah merosotnya daya saing industri ini menjelang MEA 2015.
“Padahal Indonesia dapat memprioritaskan sektor ini sejak 2008. Namun, tidak ada langkah pembenahan berarti. Bahkan, antar kementerian saja belum sepakat soal ekspor log dan nilai tambah. Bagaimana kita bisa menghadapi MEA 2015?” ujar Purwadi, Senin (20/1/2014).
Dia juga menambahkan, infrastruktur masih menjadi persoalan berat yang harus dihadapi pelaku usaha kehutanan yang semakin menekan daya saing industri kehutanan Indonesia, baik menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 maupun dengan raksasa lain di sektor ini seperti China.
Namun, lanjut Purwadi, adanya persoalan ini menjadi peluang bagi industri skala kecil dan menengah, seperti koperasi, untuk masuk ke sektor ini dan tumbuh. Sebab mesin-mesin penggergajian kayu bisa masuk jauh ke dalam kawasan hutan. Ada beberapa jenis kayu yang tidak punya ketahanan dan harus segera diolah.
Sementara itu, DPR mendesak pemerintah segera menjawab persoalan yang membayangi kinerja industri kehutanan sehingga prospek usaha di sektor ini akan semakin lesu menjelang diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.
Isu lingkungan (green issue) adalah isu sentral pertama, yang terkait dengan masalah akselerasi produksi hasil hutan yang menimbulkan kekhawatiran dari pasar internasional terkait perubahan iklim.
“Pemerintah harus segera memberi jawaban atas tantangan perubahan iklim ini, kalau tidak mau industri kehutanan Indonesia makin lesu,” kata Ketua Komisi IV DPR M. Romahurmuziy kepada Bisnis, Senin (20/1/2014).
Romahurmuziy menjabarkan, selain isu lingkungan, isu alih guna lahan juga memberikan tekanan kepada industrialis kehutanan karena masifnya konversi lahan hutan menjadi kebun, terutama untuk lahan kelapa sawit.
Dia menambahkan, bercokolnya Indonesia menjadi pemimpin produksi CPO dunia salah satunya karena banyak memakan sumber daya lahan hutan.
Persoalan konversi besar-besaran ini, lanjutnya, terjadi di banyak daerah seperti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat disebabkan karena korporasi melompati regulasi alih lahan dan ketidaktegasan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dalam memonitor hal ini.
Romahurmuziy juga mengeluhkan, data luas kawasan hutan yang dilansir oleh Kemenhut seringkali tidak sesuai dengan keadaan di lapangan.
“Luas deforestasi lebih besar dari catatan Kemenhut. Di catatan Kemenhut bentuknya masih hutan, setelah kita cek ke lapangan, sudah berubah jadi kebun. Di seluruh Indonesia [jumlah konversi lahan] mungkin sudah ratusan ribu ha,” ujarnya.
Persoalan ketiga, jelas Romahurmuziy, adalah bagaimana memperluas jangkauan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) tidak hanya diterima oleh pasar Uni Eropa, namun juga menuju pasar China, Timur Tengah, dan AS.
Dia menuturkan, untuk potensi masalah sosial dan konflik dengan masyarakat setempat, pihaknya mendorong pengelolaan berbasis masyarakat dalam skala kecil dan menengah untuk menggantikan industri skala raksasa yang kian surut.