Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan di level 7,5% dalam 3 bulan terakhir dianggap sebagai sinyal upaya perbaikan defisit transaksi berjalan cukup efektif.
Menteri Keuangan M.Chatib Basri meyakini kebijakan bank sentral itu didasari proyeksi defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang menyempit pada kuartal IV/2013 dan akan berlanjut tahun ini.
“Dengan begitu, maka tidak perlu lagi (BI) menaikkan interest rate. Jadi, policy yang dibuat untuk current account sudah cukup efektif,” katanya, Jumat (10/1/2014).
BI sebelumnya memproyeksi defisit transaksi berjalan kuartal IV/2013 menyusut hingga di bawah 3,5% dari produk domestik bruto (PDB), lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang 3,8% terhadap PDB.
Angka itu setara US$6 miliar sehingga secara kumulatif defisit transaksi berjalan 2013 akan US$30 miliar. Penyempitan defisit itu diperkirakan berlanjut 2014 menjadi di bawah 3% terhadap PDB.
Chatib meyakini perbaikan transaksi berjalan tahun ini akan didorong oleh peningkatan ekspor seiring pemulihan ekonomi di Amerika Serikat dan Jepang yang mampu mengompensasi penurunan pengapalan komoditas tambang mineral.
Pada saat yang sama, impor mampu ditekan menyusul kebijakan mandatori peningkatan penggunaan biodiesel dalam solar dan penaikan pajak penghasilan impor (PPh pasal 22).
Jika perbaikan ini berlanjut, tuturnya, maka periode konsolidasi cukup sampai 2013 dan pemerintahan baru dapat merancang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Meskipun demikian, Chatib mengelak berpendapat apakah pengetatan moneter perlu dilanjutkan pada 2014. “Tanya ke Pak Agus (Agus Martowardojo, Gubernur BI). Saya komentar setelah Pak Agus keluarkan kebijakan,” ujar Chatib.
Seperti diketahui, sejak medio 2013, transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah menjadi pertimbangan utama BI dalam menelurkan kebijakan moneter ketimbang inflasi.
Bank sentral menaikkan BI rate 175 basis poin sejak Juni 2013 karena adanya persepsi negatif terhadap prospek transaksi berjalan.