Mengunjungi Paris, Prancis pada musim panas di pertengahan Juni 2013, berarti tak sekedar melihat kemegahan menara Eiffel, keelokan Sungai Seine, pun kecantikan museum Louvre.
Adalah Paris Air Show 2013, pameran industri penerbangan dan kedirgantaraan skala dunia, telah menjadi magnet yang menarik bagi pebisnis, wisatawan bahkan jurnalis, untuk berkunjung ke kota ini.
Berlokasi di lapangan udara Le Bourget, Paris Air Show berlangsung pada 17-23 Juni. Tahun ini Paris Air Show melangsungkan perayaannya yang ke-50 tahun dan menjadikan pameran ini sebagai air show tertua di dunia.
Sejak kali pertama digelar pada 1909, pameran 2 tahunan ini terus berupaya mengukuhkan posisinya sebagai event terbesar dan terdepan di industri penerbangan dan kedirgantaraan dunia.
Pada gelaran 2011, Paris Air Show melibatkan lebih dari 2.100 perusahaan peserta pameran, dikunjungi hampir 300 delegasi tingkat tinggi, sekitar 151.000 trade visitors dan mampu menyedot 204.000 pengunjung umum dari seluruh dunia.
Dengan lebih dari 150 pesawat yang unjuk terbang (performing flying) dan display statis, Paris Air Show 2011 dikunjungi sekitar 3.200 jurnalis dari seluruh dunia.
Kendati kondisi ekonomi Eropa dan global belum pulih sepenuhnya dari dampak krisis, tahun ini Paris Air Show kembali digelar dan diwarnai segenap optimisme dari pelakunya.
Chairman & CEO Paris Air Show 2013 Emeric d'Arcimoles dalam sambutannya seperti dikutip dari laman resmi www.parisairshow.com mengatakan sekitar 50 juta euro telah diinvestasikan untuk infrastruktur di Le Bourget Exhibition Centre.
Adapun total luas area pameran mencapai 54.000 meter persegi yang tersebar di enam hall, area pameran outdoor seluas 43.000 meter persegi, dengan 27 paviliun antar bangsa. Sekitar 120 pesawat tercatat tampil di ajang pameran ini.
Emeric menegaskan sebanyak 351.000 orang baik pebisnis dan umum dan 3.200 jurnalis hadir dalam pameran ini. Sekitar 2.215 perusahaan yang bergerak di industri aviasi global dari 45 negara, termasuk European Aeronautic Defence and Space Company (EADS), Thales dan Safran, turut ambil bagian di Paris Air Show.
Tak ketinggalan perusahaan asal Russia, United Aircraft Corp yang menampilkan Sukhoi Su 35 dan Irkut Corp dengan pesawat latih militer andalannya, Yak 130.
Di ajang ini, mereka menampilkan inovasi dan produk-produk terbaru yang diklaim mengusung teknologi terkini, demi efisiensi biaya bahan bakar, ramah lingkungan, kenyamanan dan keselamatan pada dunia penerbangan.
Beberapa produk anyar yang tampil di pameran ini di antaranya GEnx jet engine, mesin jet dari General Electric yang ditanamkan pada Boeing 787 Dreamliner, Dassault Rafale fighter aircraft, Fouga Magister, dan lainnya.
Adalah booth Airbus (Prancis) dan Boeing (Amerika Serikat) yang tampil cukup menonjol, baik dari luasan dan desain, dari deretan panjang booth-booth peserta pameran. Hal ini setidaknya menjadi highlight kompetisi ketat yang tengah berlangsung antara dua perusahaan raksasa produsen pesawat jet berbadan lebar tersebut.
Kedua perusahaan tersebut menampilkan produk andalannya yakni pesawat long-haul generasi masa depan yakni Boeing 787 Dreamliner dan Airbus A350 di hadapan publik. Dua pesawat jet berbadan lebar saling diunggulkan karena diklaim menggunakan material yang lebih ringan sehingga membantu mengurangi konsumsi bahan bakar dan polusi.
Boeing berupaya membuat gebrakan pasca isu baterei yang memicu larangan terbang (grounding) produknya, dengan meluncurkan secara resmi Boeing 787-10 Dreamliner pada Selasa (18/6). Perusahaan ini berharap dapat memanfaatkan momentum Paris Air Show 2013 untuk mempertahankan pangsanya di pasar pesawat long-haul.
Sedangkan Airbus memikat pembeli-pembeli potensial dari seluruh dunia, menyusul langkah sukses test flight Airbus A350 XWB di Toulouse, Prancis, pada Jumat (14/6). Mengutip laman resmi www.airbus.com, perusahaan ini mampu membukukan order senilai hampir US$70 miliar dari ajang Paris Air Show 2013.
Pasar Menjanjikan
Di Paris Air Show, sejumlah produsen pesawat di antaranya Bombardier (asal Kanada) dan Airbus membidik potensi bisnis industri penerbangan di Indonesia. Bombardier memperkuat kerja sama dengan Garuda Indonesia dengan menjadikan maskapai pelat merah ini sebagai contoh airline yang sukses dalam pengelolaan bisnis.
Sebagai konsumen utama Bombardier di Indonesia, armada pesanan Garuda yakni CRJ1000 NextGen tampil di area booth produsen pesawat asal Kanada tersebut.
Mike Arcamone, President Bombardier Commercial Aircraft mengatakan potensi bisnis penerbangan di Indonesia sangat besar dan lebih dari menjanjikan. Dengan populasinya yang besar, kata Mike, pasar di Indonesia diyakini akan terus bertumbuh.
“Banyak potensinya [Indonesia]. Di pameran ini juga kami melakukan banyak diskusi dengan konsumen dan diharapkan terealisasi menjadi pembelian,” ujar Mike.
Hingga 2015, Garuda akan mengoperasikan sebanyak 18 unit CRJ1000 NextGen dan memiliki opsi untuk memesan 18 unit tambahan dari Bombardier.
Sementara itu, Airbus merealisasikan kerjasama strategis dengan GMF AeroAsia (Garuda Indonesia Group) di lini bisnis perawatan pesawat dengan membangun training center Airbus yang pertama di dunia, di luar Toulouse.
“Langkah ini akan mengakselerasi peran Airbus di pasar Indonesia yang berkembang. Mendekatkan kami dengan konsumen,” kata Didier Lux, Executive Vice President Airbus Customer Service Airbus.
Sementara itu, Richard Budihadianto, President and CEO GMF AeroAsia menegaskan kerjasama training centre Airbus ini merupakan yang pertama di dunia. Fasilitas tersebut nantinya ditujukan untuk melatih engineer airline yang membeli Airbus A320 dan A330, khususnya di kawasan Asia Pasifik.
“Selain melatih engineer di training centre GMF, aspek lain kerjasama ini adalah kontrak bisnis, Airbus akan membayar biaya training per siswa bila mereka mengirim engineernya. Ini menjadi pendapatan bagi GMF,” papar Richard.
Fasilitas training centre tersebut ditargetkan beroperasi pada Januari 2014 dengan kapasitas sekitar 80 orang-100 orang per tahun. Richard menuturkan investasi yang ditanamkan GMF untuk fasilitas tersebut sekitar US$250.000.
“Mereka [Airbus] optimis akan menjual banyak pesawat dan melihat pasar di Indonesia dan Asia Pasifik ini sangat menjanjikan. Bagi kami, selain mendapat pendapatan juga lebih pada pengakuan dunia bahwa kualifikasi GMF sudah kelas dunia,” paparnya.
Dalam kunjungannya ke Paris Air Show, Richard menilai ada potensi yang dapat ditangkap oleh perusahaannya, seiring shifting atau perubahan kebijakan dari maskapai-maskapai di Eropa dan Amerika. Airline-airline tersebut, kata Richard, berencana tidak lagi mengembangkan kemampuan untuk heavy maintenance dari pesawat besar, mengingat ongkos tenaga kerja yang tinggi.
“Jadi mereka tidak lagi mengerjakan perawatan. Ini peluang buat kami karena GMF memiliki spesialisasi pekerjaan overhaul pesawat. Contohnya seperti KLM dan Air France, mereka mengerjakan perawatannya ke luar [perusahan lain],” tegas Richard.
Perusahaan ini menginvestasikan hampir US$100 juta untuk membangun hangar yang diharapkan mampu menaikkan kapasitas produksi perusahaan pada 2014.
Musim panas yang mewarnai optimisme pameran Paris Air Show pun tampaknya ditangkap juga oleh Richard. Dia membidik pendapatan GMF pada tahun ini menjadi US$260 juta, naik dari realisasi dari tahun lalu. Pada 2012, GMF menargetkan pendapatan sebesar US$182 juta dan terealisasi sebesar US$210 juta.