BISNIS.COM, JAKARTA—Sepanjang 2013, sebagian besar industri hulu dan hilir rotan telah menghentikan operasional lantaran rendahnya permintaan rotan di dalam negeri dan sulitnya mendapatkan pasokan bahan baku.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia Lisman Sumardjani mengatakan paska penerapan Peraturan Menteri Perdagangan No.35/2011 tentang Larangan Ekspor Rotan yang berlaku pada November 2011, kalangan industri mengalami penurunan permintaan yang signifikan dan kesulitan bahan baku.
"Terus terang sepanjang 2013 kami praktis tidak ada yang operasional. Kalau ada pun sangat sedikit dan temporer. Saya bilang industri rotan ini lagi koma," tuturnya ketika dihubungi Bisnis hari ini, Selasa (18/06).
Lisman menuturkan ancaman gulung tikar terjadi hampir di seluruh sentra produksi rotan Tanah Air. Dari 20 perusahaan rotan setengah jadi di Sumatera seluruhnya sudah tidak beroperasi. Sementara itu, di Palu dan Makasar hanya 4 dari 60 perusahaan yang masih beroperasi. "Itupun kapasitasnya tidak 100%, paling hanya 30%," imbuhnya.
Salah satu sentra produksi rotan tanaman di Kabupaten Katingan Kalimantan Tengah juga mengalami penurunan produksi. Produksi rotan di Katingan anjok dari kondisi normal 5.000-10.000 ton menjadi 100-200 ton.
Penyebab utama lesunya industri rotan, lanjut Lisman, adalah pelarangan ekspor rotan mentah, rotan asalan, rotan setengah jadi, dan rota W/S sebagaimana yang diatur dalam Permendag No.35/2011.
Menurutnya, penutupan keran ekspor rotan tidak diikuti oleh peningkatan daya serap pasar di dalam negeri, sehingga mempengaruhi harga dan minat petani dalam menyuplai bahan baku.
Berdasarkan data Lembaga Surveior (LS) nilai ekspor produk rotan Indonesia pada periode Januari-Mei 2012 mencapai US$92,30 juta. Nilai ekspor tersebut berkontribusi terhadap total ekspor furniture yang mencapai US$69,72 juta dan produk anyaman US$22,59 miliar. Sementara itu, data ekspor rotan mentah tercatat meningkat dari US$32,32 juta pada 2007 menjadi US$39,60 juta pada 2011.