Bisnis.com JAKARTA – Pelaku industri rotan menilai dengan potensi bahan baku sebesar 85% dunia, harusnya industri dapat meningkatkan produksi dalam negeri, mengingat pemanfaatan bahan baku yang masih sekitar 70%.
Wakil Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur mengatakan, masih ada ketimpangan antara hulu dan hilir karena industri belum mampu menyerap bahan baku yang mencapai 125.000 ton per tahun.
Dengan jatah tebang lestari tersebut, bahan baku rotan kering yang bisa diproduksi sekitar 70.000 ton, tetapi baru sekitar 50.000 ton rotan yang diolah oleh industri. Adapun pengolahan rotan di Indonesia masih minim, yaitu hanya 12% dari total pengolahan produk hutan, sementara kayu sudah 65%.
Dengan peningkatan produksi menjadi 25%, dia meyakini ekspor rotan bisa mencapai US$500 juta pada 2020. Apalagi dengan potensi Indonesia sebagai bahan baku terbanyak di dunia yang mencapai 85%.
“Strateginya kampanye supaya masyarakat dunia membeli rotan, lalu pengembangan desain supaya sesuai dengan kebutuhan pasar, dan kami melakukan asistensi kompetensi pelaku industri,” ujarnya di sela International Rattan Forum, Selasa (15/11/2016).
Data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan nilai ekspor rotan pada 2014 dan 2015 masing-masing mengalami penurunan akibat krisis ekonomi global yaitu sekitar US$173 juta dan US$159 juta.
Dia mengakui, desain rotan terbaik berasal dari Italia dan Filipina, tetapi industri dalam negeri tidak kalah dengan sejumlah perusahaan dari Jerman, Italia, dan Taiwan yang tidak memiliki bahan baku sehingga mau membuka pabrik di sini.
Berdasarkan Permendag No.35/2011 tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan Produk Rotan, ekspor rotan mentah hanya boleh dilakukan oleh eksportir terdaftar produk industri kehutanan (ETPIK).