BISNIS.COM, JAKARTA--Pertamina menganggap usaha liquefied gas vehicle (LGV) tidak menarik karena minimnya konsumen dan sarfas (biaya membangun infrastruktur LGV) BBG masih lebih mahal dibandingkan dengan bahan bakar minyak (BBM).
Karen Agustiawan, Direktur Utama Pertamina mengatakan selama ini penjualan LGV di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) hanya sekitar 4 metrik ton per bulan dari kapasitas total tangki timbun sebesar 6 metrik ton.
Minimnya konsumen dan thruput (penjulan dan distribusi) LGV, serta sarfas yang lebih mahal dibandingkan dengan BBM membuat pengusaha SPBU swasta enggan masuk dalam bisnis LGV.
“Hanya ada sekitar 11 SPBU di Jabodetabek yang menjual LGV. Itu pun semuanya SPBU milik Pertamina atau CoCo [company owned company operated],” katanya di Jakarta.
Karen mengungkapkan 4 metrik ton LGV yang terjual per bulan hanya setara dengan 7,56 kiloliter BBM. Padahal, setidaknya SPBU harus menjual 180 kiloliter LGV per bulan untuk mencapai keekonomian dalam bisnis itu.
Dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja (RAPBN) 2014, Pemerintah mengusulkan subsidi LGV sebesar Rp1.500 per liter, sehingga harga LGV akan terus berubah mengikuti perubahan harga CP Aramco dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Hingga Mei 2013, terang Karen, harga keekonomian LGV yang dijual Pertamina telah mencapai Rp6.636 per liter. Dengan subsidi Rp1.500 per liter, maka SPBU akan menjual LGV dengan harga Rp5.136 per liter atau dibulatkan menjadi Rp5.136 per liter.
Sementara itu Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Edy Hermantoro mengatakan harga LGV saat ini sebenarnya masih bagus secara bisnis. Pasalnya, subsidi yang ditetapkan pemerintah dalam APBN merupakan subsidi tetap per liter, sehingga harganya akan tetap mengikuti harga dunia.
Menurutnya, Pemerintah memang akan lebih mendorong penggunaan compressed natural gas (CNG) untuk program konversi BBM ke BBG. Alasannya, Indonesia lebih banyak memiliki cadangan CNG dibandingkan LGV yang berbasiskan pada LPG.
“CNG itu kan dari gas C-1, sedangkan LGV dari gas C-3 dan C-4 yang selama ini di jadikan LPG. Kami dorong penggunaan CNG, karena sumbernya lebih banyak dan harganya lebih murah. Jadi secara ketahanan energi, memang lebih baik menggunakan CNG,” katanya.
Penggunaan LGV, menurutnya, dilakukan karena Pemerintah ingin segera melakukan diservikasi energi dari yang semula BBM menjadi Gas. Akan tetapi, saat ini pemerintah akan melaksanakan konversi, sehingga akan menyebarkan alat konversi untuk CNG.
Bahkan, tahun depan Pemerintah akan mengusulkan pembangunan pipa penyaluran CNG sepanjang 100 kilometer (Km). “Kalau pipa untuk LGV kan sudah dibangun di Bandung dan di Bali. Kan kemarin Hiswana Migas [Himpunan Wiraswastawan Nasional Minyak dan Gas Bumi] sudah mengumumkan,” ungkapnya.
Ketua Tim Percepatan Konversi BBM ke BBG Kementerian ESDM, Wiraatmadja Puja mengatakan Pemerintah akan bekerjasama dengan pemerintah daerah mempercepat penggunaan LGV untuk nelayan. Juli 2013 mendatang, Kementerian ESDM akan menyumbangkan 300 alat konversi LGV kepada nelayan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
“Sekitar 3 atau 4 Juli 2013 kami akan menyumbangkan 300 unit alat konversi BBM ke LGV, dan Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur akan menyumbang 200 unit alat konversi,” katanya.
Dengan penggunaan alat konversi itu, maka nelayan dapat menghemat pengeluarannya hingga Rp165.000 untuk sekali berlayar. Penghematan itu diperoleh karena saat masih menggunakan BBM nelayan harus mengeluarkan Rp200.000 untuk sekali berlayar, sementara dengan menggunakan LGV nelayan hanya perlu mengeluarkan Rp35.000 untuk sekali berlayar.
Alat konversi senilai Rp7,5 juta per unit itu, lanjut Wiraatmadja, akan menggunakan tabung LPG ukuran 3 kilogram (Kg) yang disubsidi pemerintah. Selain itu, spesifikasi alat konversi itu juga telah disesuaikan dengan standar operasional dan prosedur keselamatan dalam berlayar. (ra)