BISNIS.COM, PALEMBANG--Pengembangan system of rice intensification yang tergolong lamban di Indonesia dinilai sebagai akibat masih banyak peneliti di Kementerian Pertanian yang menutup diri terhadap informasi seputar penerapan sistem itu.
Ketua Umum Ina-SRI sekaligus Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Iswandi Anas, mengatakan para peneliti di lingkungan pemerintah seakan tidak mau mendengar informasi yang tepat mengenai sistem of rice intensification (SRI).
“Persoalannya mereka [para peneliti] tidak mendapat informasi yang benar sehingga bukan mempromosikan SRI malah memberikan pengertian yang salah terhadap sistem itu,” katanya seusai seminar nasional bertajuk Kemitraan dalam Pengembangan Agribisnis Berbasis Sumberdaya Lokal bersama Medco E&P Rimau Asset di Palembang, Senin (15/4/2013).
Menurut Iswandi, peneliti di lingkungan Kementerian Pertanian seringkali menginformasikan bahwa penerapan SRI harus secara organik dan jarak tanam harus selebar 50 cm X 50 cm.
Padahal, kata dia, SRI tidak melulu harus organik, secara anorganik pun bisa dan jarak tanamnya tidak perlu selebar itu.
“Sistem SRI ini kan semakin lama semakin berkembang bukan cuma dengan cara organik. SRI mudah menyesuaikan diri dengan kondisi setempat dan kreativitas petani juga ikut berkembang ” katanya.
Seperti diketahui, SRI yang berasal dari Madagaskar itu masuk ke Indonesia sejak 1997 silam. Metode ini mampu meningkatkan produktivitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara dari cara konvensional.
Teknik ini awalnya hanya diterapkan di lahan seluas 10 hektare pada 2005 di 8 provinsi di Indonesia.
Kemudian meningkat jadi 1.840 ha pada 2009 di 20 provinsi. Peningkatan signifikan mulai terjadi sejak 2 tahun lalu, di mana pada 2011 seluas 11.140 ha menjadi 60.300 ha yang tersebar di 32 provinsi pada tahun lalu.
Dia mengatakan pemerintah sendiri sudah mematok target tinggi untuk peningkatan luas lahan SRI menjadi 207.000 ha pada 2013. Akan tetapi, menurut Iswandi, sebetulnya potensi perluasan areal itu masih sangat tinggi.
“Separuh dari total areal luas panen 1,2 juta Ha itu merupakan potensi pengembangan SRI,” katanya.
Iswandi mengemukakan upaya pengembangan SRI di Indonesia dapat pula melalui program tanggung jawab sosial perusahaan. Saat ini salah satu perusahaan swasta yang memberi CSR teknik SRI adalah Medco.
Konsultan Pemberdayaan CSR Medco E & P Rimau Asset Wahyudin mengatakan pihaknya telah mengembangkan budidaya padi SRI organik di Kecamatan Rimau Kabupaten Banyuasin sejak 2009 lalu.
“Kami mulai menerapkan di lahan seluas 5 ha dan sekarang sudah mencapai 60 Ha. Targetnya terjadi peningkatan luas lahan SRI menjadi 100 ha – 200 ha pada tahun ini,” katanya.
Wahyudin mengatakan petani di desa tersebut sangat merasakan peningkatan produktivitas padi dari sebelumnya maksimal 2 ton per ha sekarang rerata mencapai 8 ton per ha.
Menurut dia, penerapan SRI perlu dukungan penuh dari pemerintah. Pasalnya, perusahaan juga menghadapi kendala terbatasnya jumlah petugas dan penyuluh dari pemerintah yang memahami metode SRI tersebut.
Kendala lainnya adalah mengubah pola pikir petani terhadap teknik menanam sehingga perlu edukasi yang mendalam.
“Tak hanya itu tantangan lainnya masih banyak petan yang membakar dan membuang jerami padahal jerami ini kan bisa menjadi pupuk,” katanya.