BISNIS.COM, JAKARTA--Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan geothermal fund untuk melakukan survei awal cadangan panas bumi dan pemboran tiga sumur panas bumi, sehingga dapat mempercepat pengelolaan panas bumi sebagai energi utama untuk pembangkit listrik di dalam negeri.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan saat ini pihaknya bersama Kementerian Keuangan terus membahas mekanisme pemberian geothermal fund. Hal itu untuk menyelesaikan persoalan keuangan yang selama ini menjadi kendala dalam pengelolaan panas bumi.
“Kami sedang membicarakan [mekanisme geothermal fund], kami juga akan mengidentifikasi dan menginventarisir WKP panas bumi mana saja yang terhambat dan mengetahui permasalahannya untuk mencari solusinya,” katanya di Jakarta, Selasa (19/3/2013).
Ria mengungkapkan tidak semua pengelolaan WKP panas bumi terhambat karena persoalan keuangan. Panas Bumi di Baturaden misalnya, setelah mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP) untuk mengelola panas bumi, pengembang tidak melakukan apa-apa karena kekurangan dana untuk melakukan eksplorasi.
Saat ini sendiri baru sekitar 50 WKP panas bumi dari total 59 WKP panas bumi di seluruh wilayah Indonesia yang belum berproduksi. Kebanyakan perusahaan pengelola WKP itu terhambat dengan persoalan keuangan dan perizinan yang belum dikeluarkan pihak terkait.
Rida menjelaskan 10 WKP panas bumi belum beroperasi karena persoalan keuangan, sedangkan sisanya terkendala persoalan perizinan. “Sekarang ini secara perlahan Kementerian Kehutanan sudah memahami kalau panas bumi memang berada di pegunungan. Kami tidak akan merusak hutan, karena kami butuh hutan untuk panas bumi,” jelasnya.
Presiden Direktur PT Medco Power Indonesia Fazil E Alfitri sebelumnya mengungkapkan pengembang listrik swasta (independent power purchase/IPP) memerlukan insentif dari pemerintah untuk mengembangkan panas bumi. Pasalnya, pengembangan panas bumi memiliki risiko dan biaya yang tinggi dan hampir menyamai kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi.
“Bisnis ini hampir sama dengan bisnis migas, risikonya eksplorasinya besar sekali karena kami tidak dapat menentukan dengan pasti cadangan panas bumi itu. nah biaya yang dikeluarkan untuk eksplorasi itu kan yang tidak dibayar pemerintah,” ungkapnya.
Fazil mengungkapkan dibutuhkan sekitar US$40 juta untuk eksplorasi panas bumi yang bisa hilang begitu saja jika cadangan panas buminya dinyatakan tidak ekonomis. “Pemerintah sempat mengeluarkan wacana pinjaman lunak untuk eksplorasi panas bumi, tapi sampai saat ini belum terbukti,” ungkapnya.
Kesulitan IPP masih harus ditambah dengan belum adanya data pasti mengenai lokasi cadangan panas bumi di Tanah Air. Selama ini, pengembang selalu diminta untuk melakukan survei geologi di wilayah yang diindikasikan menyimpan cadangan panas bumi.
Nur Pamudji, Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) juga mengungkapkan persoalan pendanaan masih menjadi kendala utama dalam pengembangan panas bumi di Tanah Air. Pasalnya, untuk melakukan pemboran satu sumur panas bumi diperlukan biaya sekitar US$7 juta.
Padahal, untuk pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi pembangkit listrik, setidaknya perusahaan harus melakukan pemboran 3 sumur panas bumi. Untuk itu, IPP harus lebih cermat dalam melakukan perencanaan dan harus memiliki kesiapan modal sebelum menggarap panas bumi.
Selain itu, pengembangan panas bumi dan energi baru terbarukan lainnya juga memerlukan teknologi dan tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan pembangkit dengan energi fosil. “Energi terbarukan memerlukan waktu yang lebih panjang. Pemanfaatan panas bumi saja butuh sekitar 5-7 tahun, jadi tenggat waktunya harus benar-benar diperhatikan,” jelasnya.