JAKARTA: Rasa penasaran itu pecah saat aturan waralaba restoran dipublikasikan pekan lalu. Agak bisa diterima saat pemerintah beberapa bulan lalu mengemukakan alasan di balik lamanya pembahasan regulasi itu.
“Kami tidak ingin nanti muncul penolakan ketika permendag-nya (peraturan menteri perdagangan) terbit. Makanya, ini kami bahas intens dengan pelaku usaha,” begitu yang dijanjikan pejabat Kementerian Perdagangan.
Pertimbangan itu pula yang membuat pemerintah batal menyatukan aturan waralaba untuk toko modern dengan restoran, dua kegiatan usaha waralaba yang ekspansinya cukup gencar dalam lima tahun terakhir, tetapi minim pelibatan pihak lain.
Singkatnya, beleid waralaba restoran perlu pembahasan mendalam mengingat bisnis restoran tak sekadar berdagang produk jadi, tetapi mengolah bahan mentah menjadi siap saji sehingga aspek kualitas harus diperhitungkan dalam perumusan ambang batas (threshold) gerai milik pemberi waralaba (franchisor).
Aturan waralaba untuk jenis toko modern lahir lebih dulu pada Oktober 2012 melalui Permendag No 68/2012 yang membatasi kepemilikan gerai milik sendiri hanya 150 outlet.
Empat bulan berselang, aturan waralaba restoran menyusul melalui penerbitan Permendag No 7/2013 tentang tentang Pengembangan Kemitraan dalam Waralaba untuk Jenis Usaha Jasa Makanan dan Minuman.
Agak berbeda dari aturan sebelumnya, permendag waralaba restoran menetapkan threshold kepemilikan gerai sebanyak 250 gerai. Adapun selebihnya harus diwaralabakan kepada pihak lain, terutama pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) di daerah di mana gerai akan dibangun.
Pola kemitraan juga dapat ditempuh dengan penyertaan modal. Jika nilai investasi pendirian gerai kurang atau sama dengan Rp10 miliar, maka penyertaan modal yang ditawarkan minimal 40%. Jika nilai investasi lebih dari Rp10 miliar, share yang ditawarkan minimal 30%.
Namun, jauh dari yang sudah diantisipasi pemerintah, kemunculan permendag baru itu tetap saja memantik ‘ribut-ribut’ dari pelaku usaha. (arh)