Bisnis.com, JAKARTA — Koperasi dinilai membutuhkan dukungan ekosistem yang sehat dan perlindungan agar dapat tumbuh maksimal. Kegagalan pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD) pada masa lalu harus diantisipasi.
Sebagai model bisnis yang bersifat subsidiaritatif dan mengakar di masyarakat, koperasi memiliki potensi besar mendukung penguatan Usaha Mikro Kecil Menengah atau UMKM dan pertumbuhan ekonomi domestik.
Ketua Asosiasi Kader Sosio - Ekonomi Strategis (Akses) Suroto mengatakan sejarah panjang koperasi di Indonesia yang sudah berjalan lebih dari 130 tahun justru dibayangi oleh kebijakan pemerintah yang keliru dan cenderung mengintervensi secara aktif.
Hal ini membuat koperasi kehilangan kemandiriannya dan tidak berkembang secara signifikan.
“Sejak dulu, pemerintah selalu mengulang kesalahan yang sama. Alih-alih menciptakan ruang tumbuh, koperasi justru dijadikan objek intervensi. Akibatnya, koperasi tidak berkembang dan kehilangan semangat kemandiriannya,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip, Minggu (10/8/2025)
Dia menilai jika ingin koperasi mampu bersaing dan memperkuat UMKM di pasar domestik dan internasional, pemerintah harus berhenti mengontrol dan mulai menciptakan ekosistem yang sehat bagi koperasi. Tiga prinsip utama yang perlu ditegakkan adalah rekognisi, distingsi, dan perlindungan.
Baca Juga
Rekognisi, jelasnya berarti pengakuan atas praktik terbaik koperasi yang berbasis demokrasi dan kemandirian.
Sementara distingsi artinya perlakuan berbeda dari korporasi kapitalis, seperti pembebasan pajak karena koperasi sudah jalankan prinsip keadilan.
Perlindungan harus difokuskan pada nilai dan prinsip koperasi, bukan koperasi palsu yang hanya mengejar legalitas.
Dia khawatir munculnya model koperasi seperti Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) dapat mengulang kebijakan lama, seperti KUD dan Koptan, yang kurang berhasil dan hanya hidup dari subsidi.
Tak hanya dari sisi kelembagaan, kontribusi koperasi terhadap ekonomi nasional pun terbilang minim. Pada 2024, sumbangan koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 0,95%. Rata-rata kontribusinya selama 10 tahun terakhir pun tak lebih dari 1,05 persen.
“Ini terjadi karena koperasi masih disubordinasi dalam banyak regulasi. Misalnya, dilarang menjadi badan hukum untuk penanaman modal asing, tak boleh menyelenggarakan layanan publik seperti rumah sakit, dan tak dijadikan alternatif dalam layanan sosial,” jelasnya.
Dia menegaskan, jika seluruh bottleneck dalam sistem regulasi tidak dicabut, maka koperasi akan terus tertinggal. Pemerintah harus berhenti melihat koperasi sebagai lembaga yang patut dibina, tetapi sebagai sistem yang harus didayagunakan karena keunggulannya dalam mendistribusikan kesejahteraan secara lebih merata.
“Koperasi bukan lembaga yang lemah, tapi sistem yang kuat jika tidak dipasung. Jika diberi ruang tumbuh, koperasi akan menjadi penggerak utama UMKM dan menyumbang signifikan pada ekspor dan pertumbuhan ekonomi nasional,” tegasnya.