Bisnis.com, JAKARTA -- Realisasi penerimaan pajak semester 1/2025 tercatat di angka Rp831,3 triliun atau mengalami kontraksi sebesar 7% dari semester 1/2024 yang tembus di angka Rp893,8 triliun.
Tren pelemahan dari sisi penerimaan pajak ini berisiko bagi stabilitas pengelolaan anggaran. Apalagi di sisi lain pemerintah harus menghadapi potensi lonjakan utang untuk menutup celah fiskal yang ditimbulkan akibat shortfall penerimaan pajak.
Dalam catatan Bisnis, sampai dengan tahun 2024 lalu total outstanding utang pemerintah mencapai Rp8.909,13 triliun atau 39,6% dari produk domestik bruto (PDB). Artinya jika mengacu kepada data realisasi pembiayaan utang semester 1/2025, total utang pemerintah pusat telah menembus angka Rp9.224,5 triliun.
Sementara itu jika dihitung menggunakan outlook APBN 2025 yang mencapai Rp772,9 triliun, posisi utang pemerintah pusat (SBN dan pinjaman) angkanya akan menembus Rp9.682 triliun atau tumbuh 8,67% year on year (yoy). Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 2025 di angka 5% atau sekitar Rp23.245,9 triliun, maka proyeksi rasio utang terhadap PDB pada 2025 berada di angka 41,6%.
Angka 41,6% merupakan capaian angka yang tertinggi bahkan melampaui masa pandemi Covid-19 (2020-2021) yang bila berdasarkan data Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2024 di angka 39,4% - 41,1%. Capaian ini bahkan lebih tinggi selama 15 tahun terakhir.
Tren Rasio Pajak vs Rasio Utang 2017-2025**
Baca Juga
Tren lonjakan rasio pajak utang itu seolah berbanding terbalik dengan rasio pajak yang trennya justru stagnan bahkan cenderung menurun jika melihat outlook APBN 2025. Pemerintah telah menetapkan bahwa outlook penerimaan pajak sebesar Rp2.076,9 triliun, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5%, maka rasio pajak pada tahun 2025 kemungkinan akan berada di angka 8,9%.
Proyeksi tersebut menunjukkan bahwa rasio pajak, khusus penerimaan pajak pusat yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak, terjebak di angka 8% selama 9 tahun terakhir. Kisarannya angkanya di 7,5% - 8,9%.
Tantangan penerimaan itu tidak hanya di situ, kalau mengacu data laporan semester 1/2025, jenis-jenis pajak sebagai penopang utama penerimaan mengalami kontraksi yang cukup dalam.
Restitusi Jadi Biang Keladi
Data penerimaan pajak pada Semester 1/2025 mencatat realisasi PPN sebanyak Rp267,27 triliun atau terkontraksi sebesar 19,7% dibandingkan realisasi tahun lalu yang tercatat sebesar Rp332,81 triliun.
Artinya ada ketidakelastisan antara kinerja konsumsi rumah tangga yang merepresentasikan daya beli masyarakat dengan penerimaan PPN. Kalau merujuk data BPS, secara kumulatif konsumsi rumah tangga mencapai Rp6.317,2 triliun pada semester 1/2025. Menariknya, jumlah PPN yang dipungut otoritas pajak hanya di angka Rp267,27 triliun atau sekitar 4,2% dari total aktivitas konsumsi masyarakat.
Sejauh ini belum ada penjelasan secara detail dari pemerintah mengenai kinerja penerimaan PPN dan pajak secara keseluruhan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat memaparkan kinerja APBN pada semester 1/2025 di Badan Anggaran DPR bulan lalu, menuturkan bahwa kontraksi penerimaan itu terjadi karena restitusi cukup besar yang sampai Februari 2025 masih cukup dirasakan dan kembali terjadi pada bulan Mei 2025.
“Ini oleh pak Dirjen Pajak baru sekarang sudah dikelola dari keseluruhan track. Juni sudah double digit. Ini memberi harapan di semester kedua untuk stabilisasi penerimaan pajak,” ujar Sri Mulyani di DPR, Juli lalu.
Sekadar ilustrasi, kalau merujuk kepada data Kementerian Keuangan, angka restitusi itu bisa ditelusuri melalui besaran jumlah pajak bruto dan pajak neto. Penerimaan PPN Bruto pada semester 1/2025 tercatat sebesar Rp443,93 triliun, sementara itu neto Rp267,27 triliun. Artinya jika selisih antara PPN bruto dan neto itu dianggap sebagai restitusi, maka nilainya akan mencapai Rp176,6 triliun.
Sri Mulyani juga menuturkan bahwa salah satu pemicu tingginya restitusi adalah penetapan komoditas batu bara sebagai barang kena pajak. Penetapan batu bara sebagai BKP atau barang yang harus dikenakan PPN merupakan konsekuensi dari implementasi Pasal 112 UU Cipta Kerja alias Ciptaker.
“Dan ini yang menimbulkan restitusi cukup besar.”
Ada Kemungkinan Rebound
pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menuturkan bahwa laporan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 menjadi kabar baik kedua setelah sebelumnya IMF, dalam World Economic Outlook (WEO) terkini, menaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025.
Ekonomi kuartal II - 2025 tumbuh 5,12% atau tumbuh lebih tinggi dibandingkan kuartal yang sama pada tahun lalu. Sedangkan outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 dalam outlook terbaru baik menjadi 4,8%.
Fajry menambahkan bahwa prospek positif pertumbuhan ekonomi ini akan berdampak positif bagi kinerja penerimaan pajak tahun 2025. Meski data terakhir menunjukkan penerimaan pajak kita masih terkontraksi namun saya berpendapat jika hal tersebut bersifat sementara.
“Mengingat kinerja awal tahun banyak dipengaruhi oleh faktor non-ekonomi yang bersifat sementara dan tidak berulang seperti kenaikan restitusi pajak. Meski awal tahun ada kontraksi cukup dalam namun akan terus membaik sampai akhir tahun. Tahun lalu pola kinerja penerimaan-pun sama seperti itu,” ujarnya.
Secara historis, kata Fajry, dalam dua dekade terakhir, penerimaan pajak tidak pernah tumbuh negatif kecuali karena adanya shock besar pada perekonomian, seperti global financial crisis (2008) tahun 2008 atau Pandemi Covid-19 tahun 2020 lalu.
“Artinya, kalau ekonomi kita bisa tumbuh positif, sudah seharusnya pertumbuhan penerimaan pajak juga akan positif. Sedangkan kontraksi penerimaan yang cukup dalam akan terus membaik.”