Bisnis.com, JAKARTA - Dewan Ekonomi Nasional (DEN) mengungkapkan transaksi judi online (judol) di Tanah Air selama ini ternyata berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia karena nilai akibat transaksi ilegal tersebut berpengaruh terhadap kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar 0,3%.
Anggota DEN Firman Hidayat menyatakan berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dana masyarakat yang pindah ke rekening judol tahun 2004 menembus Rp51,3 triliun.
“Artinya itu [dana] tadinya mereka bisa pakai untuk konsumsi, mereka bisa pakai untuk menabung, dan sebagainya. Dan ketika mereka gunakan untuk konsumsi, untuk investasi, itu akan create multiplier effect ke masyarakat, sehingga ada tambahan GDP dari ekonomi,” katanya, dikutip Rabu (6/8).
Namun, katanya, ketika GDP atau PDB pindah ke rekening judol, di mana sekitar 70% menurut data PPATK, berujung ke rekening luar negeri, maka dana tersebut pun larinya ke luar negeri.
“Ketika dananya lari ke luar negeri, bukan cuma duitnya yang hilang, multiplier effect yang di-create juga hilang. Jadi dari perhitungan sederhana ini kita mengestimasi di tahun 2024 saja impact dari judol itu 0,3% dari pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun lalu pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,03%, melambat dari capaian tahun 2023 yang tumbuh 5,05%.
Baca Juga
"Pertumbuhan ekonomi tahun lalu 5%. Gampangnya, seharusnya pertumbuhan ekonomi tahun lalu dapat mencapai 5,3%. Di situasi global yang tidak menentu, pertumbuhan ekonomi sebesar 0,3% ini sangat berharga untuk mencapai target Presiden, yakni pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029," katanya.
Menurut data BPS pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun ini hanya 4,9%. Firman mengasumsikan pengentasan judol seharusnya bisa membuat angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada Januari-Maret 2025.
Secara umum, Firman menjelaskan mekanisme transisi dampak judol ilegal terhadap pertumbuhan ekonomi di mana dari sisi konsumsi itu mengurangi konsumsi barang dan jasa lainnya dan meningkatkan utang.
Dari sisi investasi mengurangi alokasi investasi masyarakat, mengurangi tabungan, dan modal lari ke luar negeri. Sementara dari sisi pemerintah, dampaknya mengurangi efektivitas belanja (misalnya bansos), mengurangi penerimaan negara, dan justru makin menambah pengeluaran pemerintah untuk mengatasi dampak judol.
Sebagai perbandingan, di Brazil, pengeluaran rumah tangga untuk judi meningkat dua kali lipat dari 2018-2023, mencapai 19,9% dari pendapatan rumah tangga. Di saat yang bersamaan, pengeluaran untuk makanan, baju, dan obat turun dari 63%-57%.
Di Hong Kong, negeri ini kehilangan potensi pajak sebesar 9,4 miliar dolar Hong Kong per tahun atau setara Rp19 triliun (asumsi kurs 1 dolar Hong Kong Rp2.000), sementara Afrika Selatan kehilangan R110 juta potensi pajak tahunan atau sekitar Rp100 miliar (asumsi 1 rand Afrika Selatan setara Rp912).
“Masyarakat Brazil diperkirakan mengeluarkan US$12 miliar untuk judi online di luar negeri,” kata Firman.
Firman juga menjelaskan satu hal yang penting juga untuk dilihat secara utuh adalah dampak sosial dari judol ini yang seperti tip of iceberg, atau puncak dari gunung es.
“Muncul kasus-kasus seperti, kekerasan, bunuh diri, dan lainnya [karena judol]. Tapi sayangnya ini baru tip of the iceberg. Ketika kami melakukan studi, kita memang melihat masih ada ruang kosong yang melihat dampak sosial dari judol ini.”
Dalam kesempatan itu, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana membeberkan data yang mencengangkan terkait dengan perputaran uang dalam tindak pidana perjudian, dan data lainnya yakni korupsi, penipuan, dan narkotika.
Berdasarkan data PPATK, nilai perputaran dana perjudian di tahun 2024 mencapai Rp359,81 triliun, nomor dua setelah korupsi sebesar Rp2.236 triliun. Sebagai perbandingan, di tahun 2023, nilai perputaran judi mencapai Rp327,81 triliun, nomor tiga setelah korupsi Rp637,81 triliun dan penipuan Rp623,46 triliun.
Adapun di kuartal I/2025, PPATK mendata perputaran dana judol mencapai Rp47,97 triliun. Angka ini diproyeksikan naik menembus Rp1.100 triliun pada tahun ini jika tidak ada tekanan pada sektor perbankan dan teknologi finansial atau fintek.
Ivan mensimulasikan intervensi pemerintah pada sektor fintek dapat menekan angka itu menjadi Rp481,22 triliun tahun ini. Hal itu karena mayoritas masyarakat berpenghasilan rendah yang menjadi korban judol umumnya akan meminjam dana fintek untuk judol.
Proyeksi perputaran dana judol tahun ini akan kembali susut dengan intervensi pemerintah menjadi Rp205,3 triliun. Ivan menegaskan intervensi yang dimaksud adalah pengkinian data nasabah bank dengan menahan mayoritas rekening pasif.
“Kalau kami berhasil menekan perputaran dana judol, dia akan minus Rp154 triliun pada tahun ini dibandingkan perputaran tahun lalu yang mencapai 359 triliun.”
Menurut Ivan, penahanan 120 juta rekening pasif yang dilakukan PPATK pada pertengahan tahun ini adalah bentuk perlindungan publik, karena pemeriksaan rekening pasif tersebut bertujuan menjaga integritas sistem keuangan yang akhirnya melindungi kepercayaan publik pada sistem perbankan nasional.