Bisnis.com, JAKARTA -- Pelemahan daya beli, pelambatan sektor industri, hingga banyaknya pengangguran menjadi pemicu pelambatan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2025.
Seperti diketahui, hasil survei dari 26 ekonom memperkirakan perekonomian Indonesia pada kuartal II/2025 akan tumbuh melambat di angka 4,80% (year on year/YoY). Pertumbuhan PDB pada April—Juni 2025 itu juga diperkirakan sedikit lebih rendah dari pencapaian pada Januari-Maret 2025 atau kuartal I/2025, yakni 4,87%.
"Keyakinan konsumen menurun, aktivitas industri melambat, dan pengangguran kaum muda tetap tinggi. Angka penjualan ritel riil juga lemah sepanjang kuartal kedua karena rumah tangga tetap berhati-hati dalam berbelanja akibat pertumbuhan upah riil yang stagnan," ujar ekonom asosiasi di Moody's Analytics, Jeemin Bang, dikutip dari Reuters pada Senin (4/8/2025).
Adapun Indeks Penjualan Riil menunjukkan bahwa kinerja penjualan eceran sempat terkontraksi 0,3% pada April 2025, dan meningkat tipis ke 1,9% pada Mei 2025. Hal itu menunjukkan konsumsi rumah tangga yang lesu.
Sinyal Pelemahan Daya Beli
Sebelumnya, sinyal pelemahan daya beli tampak dari tren melambatnya inflasi komponen inti secara tahunan sejak Mei 2025 di tengah inflasi umum yang justru melesat.
Sekalipun pemerintah klaim bahwa daya beli mulai membaik, tetapi data berkata lain. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi inti pada Juli 2025 sebesar 2,32% year on year (YoY). Angka tersebut lebih rendah dari periode Juni yang sebesar 2,37% maupun Mei yang sebesar 2,40%, bahkan dari April yang mencapai 2,50%.
Baca Juga
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai pelemahan inflasi inti secara tahunan dalam tiga bulan terakhir menunjukkan indikasi mulai melemahnya tekanan permintaan domestik struktural.
Padahal di awal tahun, inflasi inti sempat tinggi karena dorongan konsumsi pascaLebaran, kenaikan harga jasa, serta ekspektasi pasar terhadap insentif fiskal dan kebijakan upah.
“Namun ketika inflasi inti justru turun di saat yang sama inflasi umum merangkak naik, ini menandakan bahwa tekanan harga yang terjadi bukan bersumber dari penguatan permintaan, tapi dari sisi suplai yang menegang terutama pangan dan energi,” ujarnya, Minggu (3/8/2025).
Menurutnya, kondisi ini mencerminkan terjadinya divergensi daya beli masyarakat bawah tertekan oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, sementara kelompok menengah ke atas justru cenderung menahan konsumsi barang dan jasa non-esensial. Artinya, konsumsi masyarakat berjalan, tapi tidak mengarah pada perbaikan kualitas permintaan.
Di sisi lain, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menuturkan bahwa secara keseluruhan, tren pelemahan inflasi inti menunjukkan bahwa daya beli masyarakat dan aktivitas ekonomi domestik masih berada di bawah potensinya.
“[Ini] mencerminkan moderasi pada daya beli masyarakat serta pelemahan aktivitas konsumsi rumah tangga secara umum, yang dapat disebabkan oleh perlambatan ekonomi domestik atau sentimen konsumen yang menurun,” jelasnya.
Badai PHK Manufaktur
Di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) melaporkan, angka pemutusan hubungan kerja (PHK) pada periode Januari-Juni 2025 mencapai 42.385 orang. Jumlah itu meningkat 32,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebanyak 32.064 orang.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menuturkan, ada banyak faktor yang memicu terjadinya PHK, di antaranya menurunnya permintaan sehingga industri mengurangi produksi, perubahan model bisnis, hingga adanya masalah di internal perusahaan.
“PHK itu sendiri saya sudah sampaikan penyebabnya macam-macam,” kata Yassierli ketika ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (22/7/2025).
Adapun, dibandingkan Januari-Juni 2024, angka pengangguran pada periode Januari-Juni 2025 mengalami peningkatan sebesar 32,1%.
Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kemnaker Anwar Sanusi menuturkan, dibanding periode yang sama tahun lalu, angka PHK pada periode Januari-Juni 2025 memang mengalami peningkatan.
Dia mengatakan, hal ini terjadi lantaran terjadi kasus PHK dalam jumlah besar dalam satu perusahaan di awal 2025. Kendati begitu, dibanding Mei 2025, angka PHK pada Juni 2025 tercatat mengalami penurunan.
Data Kemnaker menunjukkan, angka PHK pada Mei 2025 saja tercatat sebanyak 4.702 orang atau turun 65% menjadi 1.609 orang pada Juni 2025.
Anwar menyebut, Kemnaker tengah mendalami faktor penyebab menurunnya angka PHK pada Juni 2025. “Kenapa itu terjadi tentunya ada mungkin faktor-faktor lain yang memang itu belum selesai di dalam proses PHK,” tuturnya.
Terkait sektornya, Anwar mengungkap pada periode Januari-Juni 2025, sektor yang paling banyak mengalami PHK adalah pengolahan, diikuti perdagangan besar dan eceran, serta pertambangan dan penggalian.
Adapun di sektor pengolahan sendiri, sebanyak 22.671 tenaga kerja ter-PHK sepanjang Januari-Juni 2025.