Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Tanah Air akan terus berlanjut, jika tarif resiprokal yang dikenakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara lain.
Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengatakan bahwa tenaga kerja yang ter-PHK melonjak hingga 32,1% sepanjang Januari—Juni 2025 atau merupakan angka yang tinggi. Shinta juga tak mengelak angka PHK ini lantaran sejalan dengan survei yang dilakukan Apindo.
“Tetapi yang jelas kelihatan bahwa tadi kenaikan [PHK] itu ada, pemerintah sendiri mengatakan [PHK naik] 32%, itu kan angka tinggi, kenaikan yang tinggi, dan ini memang sudah dirasakan juga dari survei yang dibuat oleh Apindo,” ujar Shinta dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Lebih lanjut, Shinta menyampaikan bahwa tingginya tenaga kerja yang ter-PHK merupakan hal nyata yang terjadi saat ini. Dia juga menuturkan gelombang PHK ini masih akan terus terjadi.
“Jadi kita sama-sama sepakat bahwa ini bukan hanya sekadar PHK biasa, tetapi ini memang PHK sedang benar-benar berjalan dan masih terus bergulir,” ujarnya
Di sisi lain, Shinta menjelaskan bahwa pemerintah berupaya meminimalisir dampak tarif ke lonjakan PHK melalui kesepakatan dagang dengan AS.
Untuk diketahui, Trump sendiri telah mengumumkan kesepakatan dagang tarif impor sebesar 19% kepada Indonesia dari sebelumnya adalah 32%. Namun, ekspor produk dari Negara Paman Sam ke Indonesia akan dibebaskan dari bea masuk alias tarif 0%.
Shinta menilai, jika Indonesia dikenai tarif impor tinggi maka akan berdampak pada ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang dikhawatirkan bisa memicu gelombang PHK.
“Kalau sekarang kita nggak punya tarif yang lebih baik dari kompetitor dan ada pengalihan order, itu kan jelas akan mengganggu nantinya tenaga kerja di Indonesia juga, nanti PHK akan semakin lagi bertambah. Jadi ini hal-hal contoh yang coba dilakukan untuk meminimalisir PHK yang sudah ada,” ujarnya.
Namun, Shinta menambahkan bahwa gelombang PHK diperkirakan belum berhenti lantaran kondisi ekonomi saat ini yang belum stabil.
Shinta juga menyoroti tingginya PHK yang mayoritas terpusat di Jawa Tengah lantaran banyak pabrik industri TPT yang berdiri di sana. Faktor lain, sambung dia, mayoritas tenaga kerja yang ter-PHK di Jateng juga disebabkan karena upah minimum.
“Dan kemarin itu jelas di Jateng ada beberapa pabrik besar yang juga [melakukan PHK],” tandasnya.
Dalam catatan Bisnis, raksasa industri tekstil Indonesia, yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex melakukan PHK massal terhadap lebih dari 10.000 pekerja.
PHK ini dilakukan menyusul adanya putusan Pengadilan Niaga Semarang yang mengabulkan permohonan dari PT Indo Bharat Rayon dan memutus Sritex Pailit dan berhenti beroperasi pada 1 Maret 2025.
Berdasarkan surat Nomor.299/PAILIT-SSBP/II/2025 tertanggal 26 Februari 2025, Tim Kurator mengumumkan bahwa telah terjadi PHK sejak 26 Februari 2025 lantaran perusahaan dalam keadaan pailit.