Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Padat Karya di Persimpangan Jalan, Badai PHK Masih Jadi Momok

Industri padat karya terutama tekstil masih menghadapi tekanan berat. Gelombang PHK pun diperkirakan masih akan terus berlanjut.
Rika Anggraeni,Surya Dua Artha Simanjuntak
Rabu, 30 Juli 2025 | 07:18
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor padat karya masih terus terjadi seiring tekanan yang dihadapi industri.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, saat ini fenomena PHK di industri padat karya terus meningkat, terutama di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang mengalami kesulitan.

“Tapi memang kalau lihat kondisinya, PHK ini terus meningkat, dan terutama di dalam sektor-sektor yang juga menjadi sektor padat karya seperti TPT, tekstil, sektor-sektor yang sangat tertekan pada hari ini,” kata Shinta dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (29/7/2025).

Untuk itu, menurutnya, pemerintah perlu menggelontorkan berbagai kebijakan dukungan agar sektor industri padat karya dapat bertahan dan terus menciptakan lapangan kerja.

Dukungan tersebut mencakup insentif fiskal seperti pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) jasa subkontrak dan bahan baku, percepatan restitusi PPN, penghapusan bea masuk bahan baku untuk industri, perluasan skema PPh 21 ditanggung pemerintah, serta akses pembiayaan yang lebih inklusif.

Di samping itu, dunia usaha juga mengusulkan stimulus biaya tenaga kerja dan energi melalui subsidi iuran BPJS Kesehatan untuk sektor terdampak, diskon listrik, subsidi gas, serta pengembangan energi terbarukan melalui PLTS atap dengan skema net-metering.

Shinta menjelaskan bahwa seluruh langkah ini dirancang untuk menjaga arus kas, mempertahankan kapasitas produksi, dan mencegah gelombang PHK lanjutan.

“Industri padat karya kita tengah berada di persimpangan jalan. Jika tidak diberi perlindungan dan insentif yang cukup, maka kita berpotensi kehilangan sektor yang selama ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar,” kata Shinta.

Adapun, dalam survei terbaru Apindo, 50% responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerjanya atau melakukan PHK imbas ketidakpastian ekonomi yang tengah terjadi saat ini. Kondisi ini diperkirakan terus berlangsung ke depannya.

Dalam kesempatan terpisah, Shinta menuturkan, situasi ekonomi global yang terus berubah, kondisi geopolitik yang semakin tinggi, hingga proyeksi pertumbuhan yang terus menurun, telah membuat banyak perusahaan tidak memiliki cukup informasi untuk mengambil keputusan.

“Akhirnya, banyak yang bersikap dengan menahan ekspansi, memperlambat rekrutmen, dan fokus pada efisiensi dibanding mengambil risiko baru,” kata Shinta dalam sambutannya di Kantor BRIN, Jakarta Pusat, Senin (28/7/2025).

Kondisi itu bahkan terbukti melalui survei terbaru yang dilakukan Apindo. Shinta mengungkapkan, survei Apindo menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerja, dan masih akan terus melakukan hal ini dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan.

“Dalam survei Apindo yang baru saja kami lakukan, lebih dari 50% responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerja, dan masih akan terus melakukan hal ini,” tuturnya.

Industri Padat Karya di Persimpangan Jalan, Badai PHK Masih Jadi Momok

Peluang dari Tarif Trump

Negosiasi Indonesia dan Amerika Serikat (AS) yang menghasilkan kesepakatan penurunan tarif dagang resiprokal dari 32% menjadi 19% untuk produk Indonesia dinilai dapat meminimalisir risiko lonjakan PHK di industri padat karya.

Shinta menilai jika Indonesia dikenai tarif impor yang lebih tinggi maka akan berdampak pada ekspor TPT yang dikhawatirkan bisa memicu gelombang PHK.

“Kalau sekarang kita enggak punya tarif yang lebih baik dari kompetitor dan ada pengalihan order, itu kan jelas akan mengganggu nantinya tenaga kerja di Indonesia juga, nanti PHK akan semakin lagi bertambah. Jadi ini hal-hal contoh yang coba dilakukan untuk meminimalisir PHK yang sudah ada,” ujarnya.

Dengan tarif resiprokal yang dikenakan terhadap Indonesia lebih kompetitif dibandingkan negara kompetitor, menurut Shinta, dapat menjadi peluang Indonesia untuk menarik investasi di industri TPT.

“Ke depan, kita masih melihat berbagai peluang seperti contohnya kalau memang tarif resiprokal Indonesia ini lebih rendah daripada negara kompetisi di industri TPT, seperti Bangladesh, Vietnam, dan lain-lain,” kata Shinta.

Menurutnya, jika pengenaan tarif resiprokal terhadap Indonesia lebih rendah, maka peluang investor asing mengalihkan investasi ke Indonesia akan meningkat.

Bahkan, Shinta menyebut beberapa perusahaan asing dari China sudah mulai mengalihkan investasi ke Tanah Air, terutama di sektor ritel.

“Kalau ini [tarif resiprokal Trump] memang kita bisa lebih kompetitif, tidak menutup kemungkinan kita ada juga relokasi investasi untuk industri ini, seperti China juga ada beberapa saya rasa yang mulai masuk investasi ke TPT,” ungkapnya.

Insentif untuk Industri Padat Karya

Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pemberian paket insentif fiskal ke sejumlah sektor industri padat karya, seperti keringanan pajak hingga subsidi energi.

Hanya saja, Yusuf menilai usulan insentif fiskal untuk industri padat karya perlu dilakukan secara selektif dan berbasis pemetaan sektoral. Menurutnya, situasi ekonomi saat ini berbeda dengan masa pandemi Covid-19 yang mendorong insentif diberikan secara luas.

“Tidak semua sektor padat karya mengalami tekanan yang sama. Misalnya, sektor tekstil dan produk tekstil [TPT] mungkin lebih tertekan dibandingkan sektor makanan-minuman atau alas kaki. Pemetaan ini penting untuk memastikan bahwa insentif tidak diberikan secara menyamaratakan, melainkan tepat sasaran,” ujar Yusuf kepada Bisnis.

Dia menjelaskan bahwa meskipun ketidakpastian global masih tinggi akibat konflik geopolitik, kebijakan tarif AS, perlambatan ekonomi China, dan tekanan nilai tukar serta suku bunga, dampaknya saat ini bersifat lebih sektoral dan tidak menyeluruh seperti saat pandemi.

Kendati demikian, ada satu persamaan yang menurutnya signifikan yaitu perlambatan permintaan—baik dari pasar ekspor maupun domestik. Perlambatan permintaan, sambungnya, menekan daya saing dan keberlangsungan sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja informal dan berupah rendah.

Di samping itu, Yusuf mengingatkan bahwa ruang fiskal pemerintah saat ini tidak seleluasa masa pandemi. Oleh karena itu, insentif harus diprioritaskan untuk sektor yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang tinggi terhadap penyerapan tenaga kerja dan pemulihan permintaan dalam negeri.

“Insentif seperti PPh 21 Ditanggung Pemerintah [DTP] untuk pekerja upah rendah dan relaksasi PPh Badan bisa saja dipertimbangkan lagi, tetapi skalanya mungkin tidak sebesar saat pandemi,” ucapnya.

Tak hanya keringanan pajak, Yusuf juga menilai pemerintah bisa mempertimbangkan subsidi biaya energi industri, seperti listrik dan gas pada jam sibuk, yang menurutnya merupakan komponen signifikan dalam struktur biaya produksi.

Selain itu, dia juga menilai bahwa insentif non fiskal seperti fasilitasi ekspor dapat menjadi opsi yang berdampak nyata. Yusuf menyarankan langkah-langkah seperti pengurangan tarif logistik, simplifikasi dokumen ekspor, hingga percepatan restitusi PPN dapat membantu pelaku usaha.

“Insentif semacam ini tidak langsung mengurangi beban fiskal, tapi memberi ruang napas cukup besar bagi pengusaha,” tutupnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro