Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkap hanya empat perusahaan besar sektor garmen dan sepatu yang masih bertahan untuk melakukan ekspor ke Amerika Serikat (AS) di tengah berbagai tantangan ketidakpastian global.
Wakil Ketua Umum Bidang Analisis Kebijakan Makro-Mikro Ekonomi Kadin Aviliani mengatakan, empat perusahaan tersebut hanya mendapatkan margin atau keuntungan 5% dengan kondisi saat ini. Menurutnya, kondisi perusahaan-perusahaan tersebut bisa lebih parah bila tidak mendapat bantuan dari pemerintah ketika menghadapi kebijakan tarif resiprokal AS sebesar 19%.
"Yang ekspor ke Amerika Serikat itu sekarang tinggal empat perusahaan yang besar, kalau yang kecil banyak tapi enggak survive, itu pun mereka mengatakan margin mereka tinggal 5%. Kalau tidak dibantu pemerintah, dengan kebijakan 19% nanti bisa-bisa dia tutup," kata Aviliani dalam Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025, Selasa (29/7/2025).
Kendati demikian, Aviliani tidak memerinci perusahaan-perusahaan yang dimaksud. Dia menerangkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tetap bertahan melakukan ekspor ke AS karena terikat kontrak tahunan.
Dengan kontrak tersebut, pengusaha tidak dapat mengubah harga sehingga harus menanggung ongkos dari kenaikan tarif.
"Dia butuh bantuan pemerintah gitu loh. Yang mana misalnya perlu subsidi, misalnya BPJS dibantu," jelasnya.
Baca Juga
Untuk tetap bertahan di situasi dengan margin ekspor yang tipis, perusahaan-perusahaan itu disebut melakukan efisiensi besar-besaran.
"Dia bilang, kalau saya masih 5% [margin] masih jalanin. Tapi kalau udah di bawah itu, saya mending tutup. Bahkan keluarganya bilang, 'kamu tuh masuk gila ya, untung 5% masih mau gitu'. Ya karena udah ada kontrak kan. Kontraknya kan jangka panjang," terangnya.
Di sisi lain, Avi menyoroti kebijakan Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) yang tak kunjung dibenahi setelah dibatalkan. Pasalnya, hal ini menyebabkan kepala daerah menetapkan upah minimum provinsi (UMP) dengan tinggi hingga meningkatkan ongkos usaha.
Oleh karena itu, tak sedikit perusahaan yang mulai menggunakan tenaga kerja outsourcing. Namun, kini tenaga kerja outsourcing juga dikenakan PPh yang membuat biaya produksi tetap bengkak.
"Nah ini yang perlu diatur. Jadi melihat kebijakan itu jangan satu-satu. Harus melihat ekosistem. Karena kan pabrik itu berhubungan dengan macam-macam kan. Jadi menurut saya mungkin kebijakan itu ke depan mesti melihat ekosistem dari setiap industrinya," pungkasnya.