Bisnis.com, JAKARTA — Industri manufaktur nasional dihadapkan pada sejumlah tantangan pascatercapainya kesepakatan baru antara Indonesia dan Amerika Serikat terkait tarif dagang. Meski Indonesia mendapat penurunan tarif ke angka 19%, kompensasi berupa pembebasan bea masuk produk AS 0% hingga pelonggaran tingkat komponen dalam negeri (TKDN) disebut berlebihan.
Researcher, Center of Industry, Trade and Investment Indef Ariyo D. P Irhamna mengatakan, pemerintah semestinya tidak hanya menjadi fasilitator kesepakatan internasional, tetapi juga menjadi arsitek kemandirian ekonomi.
“Jadi ini [penurunan tarif 19%] tidak sebanding jika tidak diimbangi kebijakan industrialisasi yang berorientasi inovasi dan kemandirian,” ujar Ariyo kepada Bisnis, Senin (28/7/2025).
Menurut dia, hasil dari kesepakatan tersebut tetap memerlukan regulasi turunan yang memberikan batas-batas tertentu agar industri dalam negeri tetap terjaga, kendati hubungan diplomasi ekonomi juga terus diperkuat.
Ada tiga langkah kunci yang harus segera dilakukan. Pertama, peneguhan kembali TKDN dan substitusi impor berbasis inovasi. Menurut Ariyo, pembebasan TKDN untuk produk AS harus dibatasi waktu dan sektornya, serta diikuti roadmap substitusi teknologi lokal.
“Pembebasan TKDN bisa dipahami dalam konteks mempercepat transfer teknologi. Namun, dalam praktiknya, tanpa mekanisme transisi dan batas waktu yang jelas, hal ini berisiko memperlemah struktur industri lokal, terutama sektor UKM dan manufaktur penyokong rantai pasok,” jelasnya.
Baca Juga
Kedua, dia mendorong Indonesia perlu mengaktifkan pusat komersialisasi inovasi. Dalam hal ini, Kementerian Perindustrian dan BRIN disebut harus berhenti memperlakukan riset sebagai hasil akademik dan mulai membangun jembatan industri-inovasi secara serius.
“Bentuk fasilitas inkubasi ekspor berbasis teknologi yang mempercepat hilirisasi produk inovatif nasional ke pasar global—dengan tarif 19% ke AS sebagai entry point strategis,” tuturnya.
Ketiga, reformasi kelembagaan dan diplomasi ekonomi. Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan disebut harus melakukan sinkronisasi cepat terhadap regulasi baru hasil kesepakatan tarif, termasuk aspek teknis, seperti bea masuk, pembatasan non-tarif, dan standar teknis.
“KBRI perlu direstrukturisasi dengan menempatkan Deputy Chief of Mission dari Kementerian Perdagangan atau Kementerian Investasi/BKPM, agar diplomasi ekonomi tidak lagi menjadi agenda sekunder diplomasi Indonesia,” jelasnya.
Lebih lanjut, terkait dengan bea masuk 0% untuk barang AS ke RI, Ariyo menuturkan, pembelian produk-produk komoditas AS secara besar-besaran, dari kedelai, gandum, hingga alat berat harus ditinjau dengan kacamata neraca teknologi dan nilai tambah domestik.
“Jika komoditas yang dibeli hanya berputar di pasar konsumsi, maka nilai ekonomi jangka panjangnya kecil,” imbuhnya.
Namun, apabila diarahkan untuk memperkuat rantai pasok nasional dan memperbesar produktivitas sektor strategis seperti pertanian presisi, manufaktur AI, atau industri energi bersih, maka masih bisa dipertimbangkan secara pragmatis.