3. Lemahnya daya beli
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual mengungkap, big data BCA menunjukkan adanya tren penurunan belanja masyarakat hingga kuartal II/2025, membenarkan banyaknya warga RI yang menjadi rojali.
David mengatakan, lemahnya daya beli membuat orang mengunjungi pusat perbelanjaan hanya untuk berjalan-jalan dan tidak membeli apa-apa, jika berbelanja pun nilainya cenderung tidak terlalu besar.
Fenomena itu tidak muncul dari ruang hampa. David menilai bahwa lemahnya konsumsi kelas menengah, yang berkontribusi sekitar 70% terhadap total konsumsi RI, berdampak terhadap perekonomian secara luas.
"Mal kelihatan ramai, tetap banyak mereka hanya makan saja, mencari diskon, atau kafe yang ada diskon. Ditambah lagi, saat ini sudah ada e-commerce," ujar David dalam Editors Briefing Bank Indonesia yang berlangsung di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (18/7/2025).
Dia juga menilai bahwa masyarakat Indonesia saat ini cenderung berhati-hati untuk berbelanja, terutama barang-barang mahal. Mereka lebih memilih menjaga asetnya di instrumen investasi untuk berjaga-jaga, sembari mengerem konsumsi.
Instrumen investasi seperti deposito, giro, saham, obligasi, dan emas menjadi laris di kalangan rojali. Bahkan, beberapa waktu warga sempat berbondong-bondong membeli emas saat harga sedang tinggi-tingginya, didorong kekhawatiran harga akan terus naik maupun untuk alasan lindung nilai.
Baca Juga
David juga mengungkap bahwa sejumlah pedagang barang mewah yang berbincang dengannya menyatakan bahwa kondisi saat ini mirip dengan krisis moneter 1998, ketika terjadi pelemahan daya beli masyarakat.
"Saya bertemu dengan supplier produk luxurious, mereka merasakan [pelemahan konsumsi masyarakat]. Beberapa pemegang merek [menyatakan] 'ini kok mirip-mirip saat krisis, agak melemah," ujar David.
4. Tidak cerminkan tingkat kemiskinan
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan bahwa fenomena rojali tidak dapat serta-merta berpengaruh terhadap angka kemiskinan.
Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Ateng Hartono mengungkapkan bahwa pada dasarnya masyarakat yang masuk dalam kategori rojali memang berdampak pada daya beli.
Terbukti dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025 yang menunjukkan bahwa masyarakat kelompok atas menahan konsumsinya. Namun, Ateng menegaskan bahwa hal tersebut tidak serta-merta berpengaruh ke angka kemiskinan karena itu hanya di kelompok atas saja.
"Fenomena rojali memang belum tentu ya teman-teman mencerminkan tentang kemiskinan," jelasnya dalam konferensi pers, Jumat (25/7/2025).
Ateng menjelaskan, bahwa fenomena rojali menunjukkan gejala sosial akibat tekanan ekonomi, terutama di kelas yang rentan. Alhasil, masyarakat yang pergi ke pusat perbelanjaan hanya sebagai rojali.
“Rojali adalah sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus ya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan bagaimana untuk ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga pada kelas menengah bawah,” tuturnya.
Menurutnya, perlu data lebih lanjut untuk mengaitkannya kepada angka kemiskinan. Apakah fenomena rojali tersebut terjadi hanya pada kelas atas, menengah, atau bahkan bawah.
Pasalnya di tengah penurunan daya beli dan fenomena rojali, BPS mengumumkan angka penduduk miskin mencapai 23,85 juta orang atau setara 8,47% dari total populasi per September 2024. Dalam catatan BPS, persentase tersebut menjadi yang terendah dalam sejarah Indonesia.