Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Setiawan Budi Utomo

Direktur Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Masuk OECD: Indonesia Harus Bersiap Naik Kelas

OECD bukanlah panggung diplomatik tempat negara berkembang bisa tampil memukau dengan narasi pembangunan.
Logo The Organisation of Economic Cooperation and Development (OECD) yang berada di kantor pusatnya, Paris, Prancis. / Bloomberg-Antoine Antoniol
Logo The Organisation of Economic Cooperation and Development (OECD) yang berada di kantor pusatnya, Paris, Prancis. / Bloomberg-Antoine Antoniol

Bisnis.com, JAKARTA - Ketika Indonesia resmi memulai proses aksesi ke Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada Februari 2024, euforia pun merebak. Pemerintah me­­­­nyambutnya sebagai pe­nga­­­kuan dunia atas pen­­ca­­paian Indonesia. Namun, di balik gegap gempita itu, muncul pertanyaan men­­­dasar: apakah ini pertanda kita siap naik kelas atau ha­­­nya ingin dipandang modern oleh dunia luar tetapi se­­­be­­narnya tetap memelihara pola lama yang nyaman bagi segelintir elite?

OECD bukanlah panggung diplomatik tempat negara berkembang bisa tampil memukau dengan narasi pembangunan. OECD adalah cermin yang memperlihatkan segala kekurangan dengan jujur di mata dunia. Keanggotaan di dalamnya bukanlah hadiah atas capaian ekonomi semata, melainkan ujian atas kedewasaan institusi, ketegasan penegakan hukum, transparansi anggaran, dan keberanian menyapu bersih korupsi. Dunia tidak sedang mencari negara yang piawai menyusun narasi, tetapi negara yang serius melakukan transformasi. Pertanyaannya, siapkah kita?

Stabil di Permukaan, Namun Masih Perlu Kewaspadaan & Pembenahan

Secara makroekonomi, Indonesia tampak meyakinkan. Hingga triwulan I/2025, pertumbuhan ekonomi tetap stabil di angka 4,87%. Inflasi terkendali di kisaran 1,03%. Cadangan devisa menembus US$152,5 miliar, memberi bantalan kuat bagi kestabilan moneter. Pascapemilu 2024, politik juga relatif tenang. Tak heran bila pemerintah merasa percaya diri di forum internasional.

Namun, di balik tampilan stabilitas itu, ada realitas domestik yang masih perlu pengembangan. Tax ratio kita masih stagnan di 7,95% yang menurun jauh dari triwulan I/2024 sebesar 9,77%. Ini jauh dari rerata OECD yang mencapai tiga kali lipatnya. Kualitas belanja negara belum mampu mengakselerasi inovasi atau produktivitas untuk mendorong investasi. Birokrasi masih belum efisien dan efektif. Sektor pendidikan dan riset, meski terus diperkuat, belum kunjung menghasilkan daya saing struktural. Koordinasi kebijakan antarinstansi masih perlu diintegrasikan dan harmonisasi regulasi menjadi PR yang perlu menjadi perhatian semua stakeholder.

Belajar dari Korea, Bukan Mengulang Kolombia

Sejarah memberikan dua cermin kontras. Korea Selatan, saat bergabung dengan OECD pada 1996, langsung melakukan koreksi besar-besaran terhadap sistem domestiknya. Mereka tidak sekadar menyesuaikan diri secara administratif, tetapi benar-benar memulai era baru, dari reformasi pendidikan hingga deregulasi ekonomi. Hasilnya kini nyata mereka menjadi kekuatan teknologi global dengan struktur kelembagaan yang tangguh.

Sementara itu, Kolombia membutuhkan hampir satu dekade untuk menyelesaikan proses aksesi, terhambat oleh tarik-menarik politik internal dan resistensi dari sektor-sektor konservatif. Reformasi mereka tertunda, kredibilitas mereka di OECD sempat dipertanyakan, dan hingga kini mereka masih berjuang untuk keluar dari bayang-bayang transformasi setengah jalan.

Indonesia sedang berdiri di antara dua jalan itu. Kita semestinya memilih menjadi seperti Korea yang berani, cepat, dan strategis. Kita perlu mewaspadai pengalaman Kolombia yang lamban, berkompromi, dan kehilangan momentum jika lebih suka kompromi dengan status quo agar tidak terulang kembali.

Raihan Gengsi Global, Mitigasi Risiko Domestik

Tidak ada yang membantah bahwa keanggotaan OECD membuka akses pada forum-forum strategis, memperkuat citra investasi, dan memberi Indonesia pijakan baru dalam diplomasi global. Akan tetapi, dunia luar hanyalah panggung, sedangkan tantangan sebenarnya berada di dalam negeri.

Reformasi BUMN dengan lahirnya Danantara, seharusnya dapat memperkuat ketahanan struktural namun ini juga menjadi salah satu pekerjaan rumah dan medan tempur yang tak sederhana. BUMN harus mengatasi banyak kepentingan dan mengurangi beban politik. Penerapan pajak karbon yang juga menuntut perombakan sistem fiskal dan komitmen lingkungan yang nyata. Penegakan hukum anti-suap tak bisa lagi pandang bulu. Semua ini bukan perubahan kosmetik. Pemerintah bersiap menghadapi benturan langsung dengan kekuatan-kekuatan lama yang mungkin tidak siap kehilangan kenyamanan.

Resistensi tentu akan muncul dari berbagai aspek. Oligarki dan elite ekonomi, birokrasi yang takut efisiensi, dari politisi yang masih enggan kehilangan ruang kompromi. Namun, tanpa keberanian menghadapi ini, maka seluruh proses aksesi hanya akan menjadi ritual panjang tanpa substansi.

Inilah harga masuk OECD: kita tidak bisa lagi setengah hati. Tak ada ruang bagi mentalitas tambal sulam.

Menyongsong Indonesia Emas Bukan Sekadar Simbolisme

Menjelang 2045, narasi “Indonesia Emas” makin sering diulang. Akan tetapi, narasi tidak cukup. Visi tanpa kerja politik yang radikal hanyalah harapan kosong. OECD bisa menjadi alat perubahan struktural fondamental governental, tetapi hanya jika kita gunakan secara jujur dan serius. Jika tidak, maka ia hanya akan menjadi simbol prestise belaka, sementara reformasi kita tetap macet di ruang sidang, birokrasi berjalan lamban, dan rakyat kehilangan harapan akan pelayanan publik yang adil dan efisien. Kita tidak akan dinilai dari seberapa cepat proses aksesi ini selesai, tetapi dari seberapa nyata dampaknya dalam reformasi struktural.

Karena pada akhirnya, sejarah tidak akan mengingat siapa yang masuk OECD lebih dulu, tetapi siapa yang mampu menggunakannya untuk mentransformasi bangsa.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper