Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom meyakini utang luar negeri Indonesia akan tetap stabil ke depannya dan terus mendukung stabilitas eksternal Tanah Air di tengah tensi geopolitik dan perang dagang.
Office of Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) memandang kestabilan tersebut tercermin karena utang luar negeri (ULN) didominasi oleh utang jangka panjang (85,1%) dan rasio utang terhadap produk domestik bruto atau PDB yang terkendali (30,3%).
“Hal ini mencerminkan profil risiko eksternal yang rendah, membantu menstabilkan rupiah dan mempertahankan kepercayaan investor di tengah ketidakpastian global,” ujar Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro, Senin (16/6/2025).
Dirinya memandang kestabilan tersebut seiring dengan langkah bank sentral, pemerintah, maupun pihak swasta yang akan menjadi lebih hati-hati melakukan penarikan pinjaman luar negeri.
Terlebih, tekanan fiskal domestik seperti peningkatan belanja untuk mendukung program prioritas pemerintah, ditambah dengan ketegangan geopolitik yang meningkat di Timur Tengah, kemungkinan akan mendorong baik pemerintah maupun sektor swasta untuk lebih selektif dalam mengambil utang luar negeri baru.
Alhasil, premi risiko dapat naik jika persepsi pasar tentang keberlanjutan fiskal memburuk dan sentimen risk-off terus berlanjut.
Baca Juga
Asmo menyoroti risiko utama yang perlu dipantau termasuk tekanan fiskal yang mungkin memaksa pemerintah untuk menerbitkan lebih banyak utang luar negeri, serta volatilitas makroekonomi yang dapat meningkatkan premi risiko negara, sehingga meningkatkan biaya pinjaman luar negeri.
“Secara keseluruhan, kami memperkirakan rasio utang luar negeri terhadap PDB Indonesia akan tetap di bawah 40% pada tahun 2025,” ujarnya.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) melaporkan utang luar negeri Indonesia kembali mencatatkan kenaikan secara bulanan pada April 2025 senilai US$800 juta menjadi US$431,55 miliar atau sekitar Rp7.197,76 triliun (JISDOR akhir April 2025 Rp16.679 per dolar AS).
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Ramdan Denny Prakoso menyampaikan meski terjadi kenaikan ULN sebesar 8,2% secara tahunan atau year on year (YoY), posisi utang tetap terjaga.
Di mana kenaikan kewajiban luar negeri pemerintah tersebut meningkat sejalan dengan pelemahan rupiah yang terjadi usai pengumuman tarif resiprokal AS pada awal April lalu.
“Kenaikan posisi ULN juga dipengaruhi oleh faktor pelemahan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (16/6/2025).