Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia, Vietnam, dan Thailand menjadi sejumlah negara di Asia Tenggara yang dibanjiri barang impor dari China seiring langkah Amerika Serikat (AS) yang mengenakan tarif tinggi terhadap barang-barang yang masuk ke wilayahnya.
Melansir Bloomberg, Kamis (12/6/2025), Kepala Riset Ekonomi Pasar Berkembang Citigroup Inc Johanna Chu menuliskan dalam risetnya bahwa lonjakan ekspor barang China ke Asia Tenggara kemungkinan menjadi indikasi terjadinya pengalihan perdagangan. Hal ini karena ekspor langsung ke AS telah menurun tajam dalam beberapa bulan terakhir.
Chu menuturkan, banjir barang impor China — yang sering kali lebih murah — dapat menjadi tantangan bagi negara-negara penerima dan pelaku usaha lokal mereka.
Di Indonesia, misalnya, impor tekstil dari China baru-baru ini mencapai rekor tertinggi bulanan, menambah tekanan pada sektor garmen yang sedang kesulitan dan telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan pekerja.
Secara keseluruhan, harga ekspor barang China dan harga pengiriman tekstil telah menurun sejak awal 2023. Sementara itu, ekspor ke AS anjlok lebih dari sepertiga pada Mei 2025, penurunan terbesar sejak 2020, ketika kedua negara terjebak dalam perang dagang yang memanas.
Baca Juga
Menurut Citi, rekor pengiriman ke Asia Tenggara juga bisa menjadi indikasi adanya praktik transshipment, yaitu strategi pengalihan arus barang China melalui negara lain untuk menghindari dampak tarif AS yang lebih tinggi. Laporan tersebut mencatat adanya 'peningkatan korelasi yang signifikan' antara kenaikan impor barang China oleh negara-negara Asia Tenggara dan ekspor mereka ke AS.
Transshipment telah menjadi titik fokus dalam negosiasi tarif AS dengan negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Thailand, yang keduanya telah berjanji untuk memperketat aturan pemberian sertifikat asal barang.
Seiring tindakan keras AS terhadap praktik transshipment, Citi menilai China kemungkinan memindahkan lebih banyak produksi hilirnya ke pasar ketiga guna menghindari risiko tarif AS, sembari mempertahankan dominasinya dalam rantai pasok untuk barang-barang antara.
Diberitakan Bisnis sebelumnya, meningkatnya praktik transshipment imbas kebijakan tarif Trump telah menghantui para pelaku usaha dalam negeri.
Asosiasi Produsen Benang dan Filamen Indonesia (APSyFI) memprediksi adanya peningkatan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) ke Amerika Serikat seiring dengan penundaan implementasi tarif resiprokal AS.
Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, ekspor diperkirakan meningkat, terutama tekstil, lantaran kekhawatiran pengusaha akan penerapan tarif resiprokal 32% yang dapat menambah beban ekspor ke AS setelah penundaan tarif dibuka.
"Tapi ini justru yang harus jadi perhatian jangan sampai kenaikan ekspornya dari transshipment. Kalau ada kenaikan tidak wajar malah merugikan kita," kata Redma kepada Bisnis, Senin (21/4/2025).
Dalam kondisi ini, dia pun mewanti-wanti agar ekspor barang TPT dan garmen ke AS bukan merupakan produk hasil transshipment dari China.
Sebab, ada banyak produk di Indonesia yang hanya dirakit, sementara produksi dan bahan baku secara keseluruhan diproduksi dari luar negeri. Dengan demikian, Indonesia hanya sebagai lokasi transit sebelum produk tersebut dikirim ke negara lainnya.
"Kita masih harus tetap negosiasi agar bisa menghitung ulang dan tarif kita diturunkan dengan mengurangi nilai dari barang ekspor dengan dugaan kuat transhipment [bukan produksi di Indonesia]," tuturnya.