Bisnis.com, JAKARTA — Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperingatkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi global melambat lebih tajam dari perkiraan sebelumnya, akibat dampak berkepanjangan dari kebijakan proteksionisme dagang Presiden AS Donald Trump terhadap perekonomian domestik Amerika Serikat.
Dalam laporan Economic Outlook terbaru yang dirilis Selasa (3/6/2025), OECD memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,9% untuk periode 2025–2026, dari estimasi sebelumnya sebesar 3,1% untuk 2025 dan 3,0% untuk 2026. Sebagai perbandingan, pertumbuhan global tahun lalu tercatat 3,3%.
OECD memperingatkan bahwa jika tren peningkatan hambatan dagang terus berlanjut, dampaknya akan semakin membebani perekonomian global, memperparah tekanan inflasi, mengacaukan rantai pasok, dan menciptakan volatilitas di pasar keuangan.
Sekjen OECD Mathias Cormann mengatakan penambahan hambatan perdagangan atau ketidakpastian kebijakan yang berkepanjangan akan semakin memperlemah prospek pertumbuhan dan mendorong inflasi, terutama di negara-negara yang menerapkan tarif.
OECD memproyeksikan bahwa jika AS menaikkan tarif bilateral sebesar 10 poin persentase terhadap semua mitra dagang dibandingkan tarif yang berlaku per pertengahan Mei, maka output ekonomi global akan terkoreksi sekitar 0,3% dalam dua tahun ke depan.
"Prioritas kebijakan utama dalam konteks ini adalah dialog konstruktif untuk memastikan resolusi yang langgeng terhadap ketegangan perdagangan saat ini," kata Cormann seperti dikutip Reuters, Rabu (4/6/2025).
Baca Juga
Trump, yang sejak awal masa jabatannya mengusung kebijakan perdagangan agresif, belakangan mulai melunak. Pada Mei lalu, ia sepakat dengan China untuk meredakan tensi tarif dan menunda tarif sebesar 50% terhadap Uni Eropa hingga 9 Juli.
Dalam laporan OECD, proyeksi pertumbuhan ekonomi AS untuk tahun ini dipangkas menjadi 1,6%, dan 1,5% untuk 2026—turun signifikan dari prediksi sebelumnya sebesar 2,2% dan 1,6%. OECD menilai bahwa tarif yang lebih tinggi memang bisa mendorong relokasi manufaktur ke dalam negeri, tetapi kenaikan harga impor akan membatasi daya beli konsumen dan menekan investasi bisnis karena ketidakpastian kebijakan.
Selain itu, pendapatan dari tarif tambahan diprediksi tak cukup untuk menutupi penurunan penerimaan akibat perpanjangan UU Pemotongan Pajak dan Pekerjaan 2017, insentif pajak baru, serta pelemahan ekonomi. Defisit anggaran AS diperkirakan membengkak hingga 8% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2026—salah satu defisit terbesar di antara negara maju yang tidak sedang berperang.
Dalam konteks tekanan inflasi yang meningkat akibat tarif, Federal Reserve diperkirakan akan mempertahankan suku bunga sepanjang tahun ini, dan mulai memangkasnya ke kisaran 3,25–3,5% pada akhir 2026.
Di China, OECD memperkirakan bahwa dampak negatif dari tarif AS akan sebagian diimbangi oleh subsidi pemerintah dalam bentuk program tukar tambah barang konsumsi seperti ponsel dan peralatan rumah tangga, serta peningkatan bantuan sosial.
Pertumbuhan ekonomi China diperkirakan mencapai 4,7% pada 2025 dan 4,3% pada 2026—sedikit berubah dari estimasi sebelumnya.
Sementara itu, zona euro diprediksi tetap mencatatkan pertumbuhan yang moderat sebesar 1,0% tahun ini dan 1,2% pada 2026. Prospek ini didukung oleh ketahanan pasar tenaga kerja, pelonggaran suku bunga, dan stimulus fiskal tambahan dari Jerman yang diproyeksikan menopang pemulihan ekonomi kawasan hingga dua tahun ke depan.