Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tren Kontraksi Manufaktur Berlanjut, Kadin Dorong 4 Kebijakan Ini ke Pemerintah

Kadin mendorong pemerintah mengambil beberapa kebijakan di antaranya penyederhanaan regulasi dan percepatan insentif usaha usai PMI manufaktur yang masih loyo
Ilustrasi pabrik mobil. Proses perakitan mobil di Daihatsu di Pabrik Karawang/Dok. Astra Daihatsu Motor.
Ilustrasi pabrik mobil. Proses perakitan mobil di Daihatsu di Pabrik Karawang/Dok. Astra Daihatsu Motor.

Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebut tren kontraksi Purchasing Managers Index (PMI) menunjukkan pentingnya langkah antisipatif untuk segera dilakukan lantaran dapat menjadi masalah struktural dunia usaha sektor manufaktur. 

Berdasarkan laporan S&P Global, PMI manufaktur Indonesia terus berlanjut pada Mei 2025 yang tercatat di level 47,4 atau masih di bawah ambang batas normal yakni 50. Namun, angka ini meningkat dibanding bulan sebelumnya sebesar 46,7. 

Wakil Ketua Kadin Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan kondisi tersebut menunjukkan perlambatan aktivitas usaha yang disebabkan melemahnya permintaan baru, kenaikan biaya produksi, serta penyesuaian inventaris. 

“PMI di bawah 50 mencerminkan kontraksi aktivitas manufaktur. Kontraksi dua bulan berturut-turut mengindikasikan masalah struktural maupun jangka pendek,” kata Saleh kepada Bisnis, Selasa (3/6/2025). 

Untuk itu, dalam hal ini Saleh mendorong pemerintah untuk segera mengambil beberapa langkah atau kebijakan di antaranya penyederhanaan regulasi dan percepatan insentif usaha. Dia juga meminta adanya reformasi logistik lamaran ongkos logistik nasional masih salah satu yang tertinggi di Asean. 

Di sisi lain, eks Menteri Perindustrian (2014-2016) itu juga menyoroti kebijakan tenaga kerja yang adaptif. Menurut dia, regulasi tenaga kerja yang rigid seringkali menghambat fleksibilitas restrukturisasi usaha. 

“Perlunya skema pelatihan ulang [reskilling] dan insentif vokasi agar industri padat karya tetap berdaya saing, serta percepatan transisi energi dan digitalisasi industri,” tuturnya. 

Lebih lanjut, dia merincikan beberapa penyebab utama perlambatan manufaktur saat ini yang dipicu terjadinya penurunan permintaan baru, baik dari pasar domestik maupun ekspor, yang menyebabkan penurunan berkelanjutan pada tingkat produksi.  

Dari segi ongkos produksi, biaya input mengalami peningkatan tajam, menandai kenaikan inflasi pertama dalam tiga bulan terakhir, yang menambah tekanan pada margin keuntungan perusahaan. 

“Sebagai respons terhadap kondisi bisnis yang lebih lemah, produsen mengurangi pembelian input untuk bulan kedua berturut-turut, yang berdampak pada aktivitas produksi,” jelasnya. 

Tak hanya PMI manufaktur yang melemah, secara umum, kinerja ekspor Indonesia April 2025 mencapai US$20,74 miliar, lebih rendah dari Maret 2025 yang mencapai US$23,25 miliar atau turun 10,77% secara MtM. 

Meskipun secara tahunan ekspor masih mencatat pertumbuhan 5,76% dan 7,17% untuk ekspor nonmigas, penurunan tajam secara bulanan (MtM) terjadi terutama pada komoditas unggulan seperti bahan bakar mineral (-6,23%), nikel dan turunannya (-21,28%), serta minyak nabati (-39,23%). 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper