Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ingin agar direktur jenderal pajak yang baru, Bimo Wijayanto, meningkatkan tax ratio alias rasio pajak. Bimo sendiri dilantik menjadi direktur jenderal pajak menggantikan Suryo Utomo yang dirotasi menjadi Kepala Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan.
Keinginan tersebut disampaikan Sri Mulyani usai melaksanakan pelantikan jajaran eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan pada Jumat (23/5/2025).
Adapun dalam dua tahun terakhir, rasio pajak Indonesia terhadap produk domestik bruto terus turun: 10,41% pada 2022; 10,31% pada 2023, dan 10,07% pada 2024.
"Penerimaan negara harus meningkatkan, tax ratio harus meningkatkan, pelayanan wajib pajak harus membaik, kepastian mengenai perpajakan juga harus meningkatkan, transparansi dan tata kelola harus diperbaiki," ujar Sri Mulyani.
Bendahara negara tersebut mengingatkan bahwa tugas penerimaan negara sangat nyata karena setiap tahun ditetapkan dalam UU APBN. Oleh sebab itu, target penerimaan negara harus dicapai karena merupakan amanat UU.
Oleh sebab itu, sambungnya, target penerimaan tersebut bukan hanya target setoran. Menurut Sri Mulyani, penerimaan pajak merupakan instrumen yang sangat penting untuk menjamin kebutuhan negara.
Baca Juga
"Bahkan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," ujarnya.
Apalagi, sambung menteri keuangan tiga periode tersebut, ke depan kondisi perekonomian sosial akan sangat dinamis. Otoritas pajak pun harus bekerja keras dan profesional.
Lebih lanjut, dia mengingatkan bahwa pejabat baru dan lama yang dilantiknya harus menyadari bahwa mereka diberi kehormatan dari Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, kehormatan tersendiri harus dijadikan motivasi untuk menjaga amanah yang diberikan.
Adapun Daftar Eselon I Kemenkeu yang dilantik Sri Mulyani yaitu:
- Sekretaris Jenderal: Heru Pambudi
- Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal: Febrio Nathan Kacaribu
- Direktur Jenderal Anggaran: Luky Alfirman
- Direktur Jenderal Pajak: Bimo Wijayanto
- Direktur Jenderal Bea dan Cukai: Djaka Budi Utama
- Direktur Jenderal Perbendaharaan: Astera Primanto Bhakti
- Direktur Jenderal Kekayaan Negara: Rionald Silaban
- Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan: Askolani
- Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko: Suminto Sastrosuwito
- Direktur Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan: Masyita Crystallin
- Inspektur Jenderal: Awan Nurmawan Nuh
- Kepala Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan: Suryo Utomo
- Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan: Andin Hadiyanto
- Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak: Iwan Djuniardi
- Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak: Yon Arsal
- Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak: Nufransa Wira Sakti
- Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara: Dwi Teguh Wibowo
- Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak: Mochamad Agus Rofiudin
- Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara: Sudarto
- Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional: Parjiono
- Staf Ahli Bidang Jasa Keuangan dan pasar Modal: Arief Wibisono
- Staf Ahli Bidang Hukum dan Hubungan Kelembagaan: Rina Widiyani Wahyuningdyah
PR Bimo Wijayanto
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto menilai agenda paling mendesak bagi dirjen pajak baru adalah memastikan pendapatan negara bisa mencapai target yang telah ditetapkan.
Untuk mencapai itu, sambungnya, dirjen pajak baru harus menyelesaikan berbagai kendala implementasi Coretax. Menurut Wahyu, jika masih terdapat kendala dari Coretax maka akan berdampak pada pemenuhan kewajiban perpajakan.
"Dampaknya yang ditimbulkan karena kendala Coretax ini saya kira sangat serius. Bukan soal penerimaan saja, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan wajib pajak kepada otoritas pajak," ungkap Wahyu kepada Bisnis, Rabu (21/5/2025).
Lebih lanjut, dia melihat pengganti Suryo Utomo harus bisa memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan terutama dari kelompok wajib pajak berpenghasilan tinggi.
Padahal, dia mengingatkan bahwa otoritas pajak sudah memiliki sumber data yang melimpah seperti dari hasil pertukaran informasi hingga implementasi Tax Amnesty yang sudah berlangsung dua kali.
Oleh sebab itu, dia menekankan Direktorat Jenderal Pajak harusnya sudah bisa melakukan pengawasan lebih efektif kepada wajib pajak yang memiliki harta jumbo.
"Selain dua hal itu, beberapa hal yang harus segera dilakukan Dirjen Pajak baru adalah mengimplementasikan kebijakan Pilar 2 atau global minimum tax, memastikan pemberian insentif tepat sasaran, hingga meningkatkan efektivitas program pertukaran data dan informasi dengan otoritas negara lain," tutup Wahyu.
Senada, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar pun menilai isu yang paling mendesak untuk segera diatasi dirjen pajak yang baru yaitu perbaikan Coretax.
Fajry mengaku baru saja berdiskusi dengan para profesional perpajakan. Menurutnya, masih banyak keluhan terkait permasalahan implementasi Coretax baik terkait isu teknis maupun regulasi.
"Kalau permasalahan ini masih ada, bagaimana WP [wajib pajak] mau patuh? Padahal tujuan sebenarnya dari Coretax untuk meningkatkan kepatuhan WP melalui kemudahan administrasi," jelas Fajry kepada Bisnis, Rabu (21/5/2025).
Selain itu, dia mengingatkan bahwa pemerintah kerap menyatakan akan mengincar underground economy alias ekonomi bawah tanah. Menurutnya, dirjen pajak baru harus memenuhi janji kampanye tersebut.
Terakhir, Fajry mengungkapkan masih ada sejumlah amanat Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang belum memiliki aturan turunan/teknis. Dia mencontohkan aturan penghindaran hingga pajak karbon.
"Tanpa aturan turunan maka ketentuan tersebut tidak bisa dijalankan. Jika dijalankan, ketentuan tersebut dapat meningkatkan penerimaan maupun meningkatkan kepatuhan," ujarnya.