Bisnis.com, JAKARTA — Bimo Wijayanto dan Letnan Jenderal TNI Djaka Budi Utama segera dilantik menjadi Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Di Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai, Bimo dan Djaka akan memiliki banyak pekerja rumah yang harus diselesaikan.
Sumber Bisnis di lingkaran Kementerian Keuangan mengungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan mengangkat Letjen Djaka sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai, gantikan Askolani. Sementara Bimo Wijayanto akan diangkat menjadi Dirjen Pajak, gantikan Suryo Utomo.
Bimo Wijayanto sendiri sudah mengonfirmasi bahwa dirinya akan dilantik menjadi Dirjen Pajak, begitu juga dengan Letjen Djaka yang akan menjadi Dirjen Bea Cukai.
"Saya diberikan mandat nanti sesuai dengan arahan Menteri Keuangan, akan bergabung dengan Kementerian Keuangan, begitu juga dengan Letjen Djaka," ujar Bimo di Istana Negara, Selasa (20/5/2025).
Hanya saja, baik Bimo maupun Djaka akan memikul tanggung jawab besar. Belakangan, Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak dan Ditjen Bea Cukai mendapat sejumlah sorotan karena kinerja hingga program kerja yang mandeg.
Lantas, apa saja pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan Bimo di Ditjen Pajak dan Djaka di Ditjen Bea Cukai?
Baca Juga
PR Perpajakan
Ditjen Pajak mendapat banyak sorotan karena penurunan penerimaan pajak dalam beberapa bulan terakhir hingga permasalahan implementasi Coretax.
Penerimaan pajak hanya mencapai Rp557,1 triliun pada Januari—April 2025. Jumlah tersebut turun 10,8% dibandingkan realisasi penerimaan pajak periode yang sama tahun lalu sebesar Rp624,2 triliun.
Sementara itu, Coretax yang diluncurkan pada 1 Januari 2025 terus mengalami masalah seperti susahnya penerbitan faktur pajak. Akhirnya, Direktorat Jenderal Pajak mengaktifkan kembali sistem administrasi lama sembari memperbaiki Coretax.
Padahal, Coretax dirancang untuk mengefisienkan sistem administrasi perpajakan di Indonesia. Coretax didesain agar mempermudah urusan administrasi perpajakan bagi wajib pajak sehingga meningkatkan kepatuhan sekaligus mempermudah otoritas untuk awasi wajib pajak sehingga mempercepat ekstensifikasi dan intensifikasi basis pajak.
DPR juga mengkritisi kinerja Dirjen Pajak saat ini, Suryo Utomo, karena rasio pajak Indonesia tidak kunjung meningkatkan.
Ketua Komisi XI DPR Misbakhun menjelaskan dalam beberapa tahun belakangan, rasio pajak selalu di bawah 11%, yaitu 8,33% pada 2020; 9,13% pada 2021; 10,41% pada 2022; 10,31% pada 2023, dan terakhir 10,07% pada 2024.
Padahal, sambungnya, DPR sudah memberikan dukungan politik penuh ke Direktorat Jenderal Pajak agar bisa meningkatkan rasio pajak. Dia mencontohkan, DPR menyetujui dua kali tax amnesty untuk memperlebar basis pajak dan aturan Automatic Exchange of Information untuk memperlancar akses data transaksi wajib pajak.
"Semua senjata sudah Bapak [Suryo Utomo] minta dan kita berikan. Akses perbankan dan sebagainya," ujar Misbhakun dalam rapat kerja dengan Direktorat Jenderal Pajak di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (7/5/2025).
Belum lagi implementasi pajak karbon yang tak kunjung terealisasi sebagaimana amanat Pasal 13 Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pajak karbon sendiri merupakan mekanisme lazim untuk menekan emisi karbon.
Singkatnya, Bimo Wijayanto nantinya harus segera memperbaiki Coretax, mengimplementasikan amanat UU yang masih tertunda seperti pajak karbon, mempercepat ekstensifikasi dan intensifikasi basis pajak, hingga meningkatkan rasio pajak.
PR Kepabeanan
Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto sempat mengkritisi langsung kinerja Ditjen Bea Cukai secara terbuka. Dalam Sarasehan Ekonomi pada awal April lalu, Prabowo menilai Bea Cukai kerap menjadi sebagai salah satu institusi yang menghambat kemudahan kegiatan usaha.
Prabowo pun mengaku pemerintahannya ingin menghentikan praktik penyelundupan yang dinilai mengancam industri dan pekerjaan masyarakat. Kepala Negara itu mengingatkan jika ada institusi negara yang melindungi penyelundupan maka akan ditindak sekeras-kerasnya.
Dia mengaku akan memberikan perhatian khusus kepada Bea Cukai dalam upaya penanganan masalah penyelundupan.
"Bea Cukai harus beres jangan macam-macam lagi, cari prosedur yang mengada-ngada, memperlama-memperlama begitu. Sudah lama kita jadi orang Indonesia," ujarnya di hadapan investor dan ekonomi di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025).
Dari sisi penerimaan, notabenenya kinerja Bea Cukai tidak lah buruk. Pada Januari—Maret 2025, penerimaan kepabeanan dan cukai mencapai Rp77,5 triliun atau naik 9,6% dari realisasi periode yang sama tahun lalu sebesar Rp69 triliun.
Hanya saja, beberapa tahun belakangan Ditjen Bea Cukai kerap tidak bisa melaksanakan program kerja yang sudah diamanatkan peraturan perundang-undangan.
Misalnya, penerapan cukai plastik dan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Padahal, penerapan cukai plastik dan MBDK sudah dicanangkan sejak tahun lalu tepatnya dalam APBN 2024 namun hingga kini belum kunjung terealisasi.
Padahal, penerimaan cukai plastik dan MBDK dimaksud untuk mengendalikan konsumsi terhadap dua barang tersebut karena dianggap buruk untuk lingkungan dan kesehatan. Tak hanya itu, penerapan cukai plastik dan MBDK juga bisa menambah pendapatan negara.
Oleh sebab itu, Djaka nantinya harus bisa memperbaiki layanan kepabeanan, memperketat pengawasan kepabeanan seperti terkait barang impor ilegal, hingga implementasi ekstensifikasi cukai seperti plastik dan MBDK.