Bisnis.com, JAKARTA - Kenaikan tarif pungutan ekspor (PE) minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dikhawatirkan akan semakin menekan industri dan berpotensi memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan (BLU BPDP) pada Kementerian Keuangan, mengerek pungutan ekspor CPO dari 7,5% menjadi 10%. Tarif baru ini mulai berlaku per 17 Mei 2025.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung, yang paling terdampak dari kenaikan tarif pungutan tersebut adalah petani sawit. Pasalnya, naiknya beban ekspor CPO akan menekan harga tandan buah segar (TBS).
Dia menyebut, harga TBS berpotensi tertekan sebesar Rp300–325 per kilogram. Padahal, saat PE sebesar 7,5% saja harga TBS sudah tertekan sebesar Rp225–245 per kilogram.
“Kenaikan tarif pungutan ekspor untuk minyak kelapa sawit atau crude palm oil dan produk turunannya dari 7,5% menjadi sebesar 10% dari harga referensi CPO tentu sangat mengejutkan kami petani sawit,” kata Gulat kepada Bisnis, Kamis (15/5/2025).
Gulat menuturkan, dalam 4 bulan terakhir, harga CPO semakin menurun. Berdasarkan catatan Apkasindo, harga CPO turun Rp1.500–2.000 per kilogram pada awal 2025 ini.
Baca Juga
Di sisi lain, Gulat menyebut, para eksportir CPO dan turunannya tidak berdampak signifikan dari kenaikan PE CPO menjadi 10%.
“Karena semua bebannya akan dipindahkan ke harga CPO dan selanjutnya produsen CPO akan memindahkan beban tersebut ke sektor hulu [penghasil TBS],” ujarnya.
Artinya, lanjut dia, beban penambahan PE sebesar 2,5% ini akan dipindahkan ke harga TBS melalui turunnya harga di tingkat pekebun. Menurut Gulat, beban petani sawit semakin berat dengan adanya kebijakan kenaikan PE CPO menjadi 10%.
“… belum lagi dana hasil PE sawit ini harus dibagi ke kakao dan kelapa sejak berubahnya BPDP-KS menjadi BPDP,” ujarnya.
Untuk itu, Gulat meminta agar petani sawit diberi kemudahan untuk mendapatkan program Badan Pengelola Perkebunan (BPDP) yang berkaitan dengan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan Program Sarana Prasarana.
Menurutnya, relaksasi ini perlu diberikan sebagai kompensasi kenaikan pungutan ekspor yang menjadi beban tambahan harga TBS sawit petani.
Lebih lanjut, Gulat berharap PE difokuskan untuk program-program yang berkaitan terhadap produktivitas kelapa sawit. Pasalnya, sambung dia, petani sawit sulit memenuhi syarat PSR, seperti legalitas dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian ATR/BPN.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, kenaikan PE CPO menjadi 10% akan berdampak pada lonjakan beban ekspor minyak sawit. Imbasnya, harga minyak sawit Indonesia tak lagi kompetitif dengan negara lain.
“Harga minyak sawit kita jadi lebih mahal dibandingkan harga negara tetangga,” kata Eddy kepada Bisnis, Rabu (14/5/2025).
Apalagi saat ini, kata Eddy, industri kelapa sawit dikenakan tiga beban, yakni domestic market obligation (DMO), pungutan ekspor (PE), dan bea keluar (BK). Dia mengungkap industri kelapa sawit menanggung total beban senilai US$221 per metrik ton.
“Yang sebelum kenaikan pada posisi harga CPO Rp14.000 per kilogram, total beban adalah US$221 per metrik ton, sedangkan untuk kenaikan 10% kita belum menghitung berapa kenaikannya,” ujarnya.
Ancaman PHK
Meningkatnya tekanan terhadap industri sawit, menurut ekonom, berpotensi menambah angka pengurangan tenaga kerja alias PHK di sektor padat karya.
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan bahwa saat ini industri kelapa sawit dalam negeri masih menghadapi banyak tekanan, termasuk tensi perang dagang. Kini, industri ini kembali dihujani dengan kebijakan kenaikan PE CPO menjadi 10%.
Faisal mengkhawatirkan kenaikan PE CPO bisa berdampak negatif terhadap kinerja ekspor CPO dan turunannya. Bukan hanya itu, kebijakan ini juga dikhawatirkan bisa merembet pada kinerja industri. Terpukulnya industri sawit yang merupakan sektor padat karya dapat memicu terjadinya pemangkasan tenaga kerja.
Jika menengok data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), korban PHK telah mencapai 24.036 orang hingga 23 April 2025. Jumlah PHK hingga April 2025 ini sudah mencapai sepertiga dari total kasus PHK yang terjadi di 2024 sebanyak 77.965 orang.
“Yang mana kita tahu pada sektor ini adalah sektor-sektor padat karya yang dikhawatirkan nantinya malah justru akan menambah potensi pengurangan tenaga kerja juga pada sektor pada karya ini, dan artinya dampak terhadap ekonomi menjadi lebih besar,” kata Faisal kepada Bisnis, Kamis (15/5/2025).
Padahal, menurut Faisal, ketegangan perang dagang yang saat ini terjadi membuat industri kelapa sawit tertekan dan berpotensi adanya penurunan volume permintaan ekspor CPO di global.
Selain itu, lanjut dia, beberapa negara mitra juga sudah mulai beralih menggunakan minyak nabati lain karena pengenaan tarif yang lebih tinggi pada minyak sawit. Kondisi ini belum termasuk dari adanya potensi penurunan ekspor CPO ke Amerika Serikat (AS), mengingat Presiden AS Donald Trump yang akan mengenakan tarif timbal balik alias resiprokal kepada Indonesia.
Faisal menyebut, AS merupakan salah satu negara tujuan yang mencatatkan peningkatan ekspor CPO dalam beberapa tahun terakhir dan menjadi negara tujuan ekspor terbesar keempat.
“Kalau tarif resiprokal terjadi dan diberlakukan, maka jelas akan ada dampak besar terhadap penurunan permintaan CPO di sana,” ujarnya.
Tekanan lainnya adalah industri kelapa sawit juga harus menghadapi kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, seperti DMO. Untuk itu, Faisal menilai kebijakan kenaikan PE CPO kurang tepat saat ini.
“Kalau dari timing, kurang tepat [kenaikan PE CPO] karena terlalu banyak beban yang diberikan kepada industri ini pada saat sekarang,” tuturnya.
Di sisi lain, Faisal melihat langkah pemerintah mengerek PE CPO dari 7,5% menjadi 10% lantaran ada kebutuhan untuk mendorong penerimaan negara di berbagai pos pada tahun ini.
“Karena dari sisi penerimaan negara di beberapa bulan awal memang rendah, bahkan terkontraksi secara year-on-year [tahunan],” imbuhnya.
Berdasarkan catatan Bisnis, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN Maret 2025 mencatatkan defisit Rp104,2 triliun. Adapun, defisit APBN ini setara dengan 0,43% terhadap produk domestik bruto (PDB). Defisit itu melebar dari posisi Januari 2025 senilai Rp23,5 triliun dan Februari sebesar Rp31,2 triliun.
Pacu Produk Hilir
Sementara itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyiapkan beragam langkah untuk menjaga kinerja ekspor minyak kelapa sawit atau CPO dan produk turunannya menyusul kenaikan tarif pungutan ekspor.
Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kemendag Farid Amir mengatakan, sejumlah langkah yang disiapkan untuk menjaga kinerja ekspor CPO, antara lain diversifikasi pasar ekspor hingga mendorong pengembangan produk hilir CPO.
“[Serta] mendorong dan mempromosikan produk hilir dari CPO karena besaran PE-nya lebih rendah dari produk yang di hulu dan lain sebagainya,” kata Farid kepada Bisnis.
Namun, lanjut Farid, Kemendag bersama kementerian/lembaga yang merupakan anggota Komite Pengarah BPDP akan menggunakan mekanisme evaluasi sebagaimana yang diatur pada PMK dimaksud.
“Tentunya bila dampak dari penerapan PE yang baru cukup signifikan terhadap penurunan kinerja ekspor dapat diusulkan agar ada penyesuaian besaran PE kembali,” imbuhnya.