Bisnis.com, JAKARTA – Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) melaporkan harga pangan dunia rata-rata mencapai 128,3 poin pada April 2025, atau naik 1,2 poin dibandingkan bulan sebelumnya lantaran naiknya harga susu, daging, dan serealia.
“Kenaikan indeks harga serealia, susu, dan daging lebih besar daripada penurunan indeks harga gula dan minyak sayur,” tulis FAO dalam laporannya, dikutip Minggu (11/5/2025).
Indeks Harga Pangan FAO, yang melacak perubahan bulanan keranjang komoditas pangan yang diperdagangkan secara internasional, mencatat indeks harga untuk susu berada di level 152,1 poin pada April 2025. Laporan itu dirilis pada 2 Mei 2025.
“Angka itu rata-rata naik 3,5 poin dari bulan sebelumnya, dan naik 28,4 poin dari tahun lalu,” bunyi laporan itu.
FAO mencatat harga mentega internasional naik selama 3 bulan berturut-turut ke titik tertinggi sepanjang masa, dengan kenaikan sebesar 2,9% dari Maret 2025.
Lonjakan tersebut sebagian besar didorong oleh harga Eropa yang lebih tinggi lantaran persediaan yang kurang dan permintaan lemak susu yang meningkat, meski produksi susu secara musiman lebih tinggi.
Baca Juga
Kenaikan harga juga terjadi pada susu bubuk internasional (SMP dan WMP), yang masing-masing naik sebesar 1,6% dan 2,9%. Hal ini lantaran permintaan domestik yang stabil dan pergeseran minat ekspor dari Eropa ke Oseania.
Sementara itu, harga keju internasional naik sebesar 2,3% dari bulan sebelumnya, didorong oleh permintaan ekspor yang kuat di tengah pengetatan pasokan di Oseania.
Untuk komoditas daging, FAO melaporkan bahwa indeks harga daging rata-rata mencapai 121,6 poin pada April 2025. Angka tersebut naik 3,7 poin dari bulan sebelumnya dan 5,0 poin lebih tinggi dibanding tahun lalu.
FAO mengungkap, harga daging internasional naik di semua kategori, dengan harga daging babi mencatat kenaikan paling signifikan.
Lembaga itu menuturkan kenaikan harga daging babi dipicu oleh harga yang lebih tinggi di Eropa karena permintaan impor global yang lebih kuat, menyusul pemulihan status bebas penyakit kaki dan mulut di Jerman dan dicabutnya pembatasan importir.
Selain harga daging babi, harga daging sapi dan domba juga menguat, sedangkan harga daging unggas naik moderat.
FAO juga mencatat kenaikan harga serealia. Dalam laporannya, harga serealia rata-rata mencapai 111,0 poin pada April 2025, naik 1,3 poin dari bulan sebelumnya tetapi masih 0,6 poin di bawah level tahun sebelumnya.
“Kenaikan bulanan tersebut mencerminkan harga yang lebih tinggi di semua sereal utama,” tulis laporan itu.
FAO mengungkap, harga gandum global naik tipis imbas pengetatan pasokan ekspor Rusia, laju ekspor yang stabil dari beberapa eksportir utama, dan pergerakan mata uang yang terkait dengan melemahnya dolar Amerika Serikat (AS), utamanya terhadap euro.
Harga jagung internasional juga meningkat, sebagian besar dipicu oleh stik yang lebih ketat secara musiman di AS dan pergerakan mata uang.
Sementara itu, indeks harga beras FAO meningkat sebesar 0,8% pada April 2025 karena permintaan terhadap varietas beras harum menguat dan kedatangan pasokan beras segar berkurang di Vietnam karena panen utama negara itu memasuki tahap akhir.
Di sisi lain, indeks harga minyak nabati dan gula turun pada April 2025. FAO mengungkap, rata-rata indeks harga minyak nabati mencapai 158 poin atau turun 3,7 poin dari Maret 2025 tetapi naik 20,7% dibanding tahun lalu.
Penurunan ini terutama didorong oleh harga minyak sawit yang lebih rendah, yang lebih dari mengimbangi kutipan minyak kedelai dan rapeseed yang lebih tinggi, sementara harga minyak bunga matahari global sebagian besar tetap stabil.
Adapun, harga gula rata-rata mencapai 112,8 poin pada April 2025, atau turun 4,1 poin dibanding bulan sebelumnya. FAO menyebut, kondisi ini menandai penurunan bulanan kedua berturut-turut dan berada 13,8 poin di bawah levelnya pada April 2024.
“Penurunan harga gula dunia sebagian besar didorong oleh kekhawatiran atas prospek ekonomi global yang tidak menentu dan dampak potensialnya terhadap permintaan dari sektor minuman dan pengolahan makanan, yang menyumbang sebagian besar konsumsi gula global,” tutur FAO.