Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mendorong pemerintah untuk merevisi secara menyeluruh sistem alih daya atau outsourcing lantaran dalam praktiknya, outsourcing berkembang menjadi instrumen legal eksploitasi buruh.
Achmad menyampaikan, pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-XVI/2018 dan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, outsourcing tetap diperbolehkan dengan pembatasan pada pekerjaan yang bukan inti.
“Namun, dalam praktiknya ketentuan ini sangat longgar,” kata Achmad dalam keterangannya, dikutip Senin (5/5/2025).
Dia mengungkap, banyak perusahaan yang memanfaatkan celah hukum ini untuk mengalihdayakan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya bersifat strategis dan permanen.
Lebih lanjut, dia menilai bahwa sistem ini telah menciptakan ketimpangan struktural yang tajam antara pekerja outsourcing dan karyawan tetap.
Dia mencontohkan, pekerja yang bekerja di lokasi, jam, dan jenis pekerjaan yang sama, bisa mendapatkan perlakuan yang berbeda hanya karena status kepegawaiannya outsourcing, tanpa kepastian kerja, tanpa jaminan sosial yang layak, dan tanpa prospek karir yang jelas.
Baca Juga
“Buruh outsourcing tidak hanya mengalami ketidakpastian kerja, tetapi juga kerap menjadi korban pemutusan hubungan kerja [PHK] sepihak dengan pesangon yang tak sesuai,” ungkapnya.
Menurutnya, menghapus outsourcing dalam format eksploitatif bukanlah soal menolak modernisasi industri atau mematikan iklim investasi. Sebaliknya, dia menilai hal ini merupakan bentuk koreksi terhadap praktik relasi industrial yang tidak adil.
Dia mengatakan, negara-negara maju pun menerapkan sistem fleksibel. Kendati begitu, hak-hak fundamental pekerja, termasuk hak atas jaminan sosial, upah layak, dan kepastian kerja tetap dijamin oleh negara tersebut.
“Jika pemerintah gagal mengambil langkah korektif terhadap sistem outsourcing yang timpang ini, maka ketimpangan dan ketidakpuasan sosial akan terus mengakar,” tuturnya.
Dia menilai janji Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus outsourcing tidak boleh berhenti sebagai retorika seremonial.
Achmad mengatakan, harus ada langkah konkret, yakni merevisi total Undang-undang Ketenagakerjaan dan turunannya, merumuskan kebijakan transisi bagi perusahaan dan pekerja, serta keberanian untuk menegaskan bahwa sistem kerja yang tidak manusiawi tidak bisa terus dilegalkan atas nama efisiensi.
Dalam hal ini, dia juga mendorong pemerintah untuk membuka dialog sosial yang melibatkan semua pemangku kepentingan yakni serikat buruh, pengusaha, akademisi, dan DPR.
“Oleh karena itu, sudah saatnya sistem outsourcing, dalam formatnya yang menindas dan diskriminatif seperti saat ini, dibatalkan,” pungkasnya.