Bisnis.com, JAKARTA — Adidas AG menahan diri untuk tidak menaikkan proyeksi keuangan tahunannya meski mencatatkan laba kuartal pertama 2025 yang lebih baik dari perkiraan.
Keputusan itu diambil akibat kekhawatiran atas tarif impor Amerika Serikat (AS). Kebijakan tarif ala Presiden Donald Trump itu disinyalir dapat mengganggu kinerja merek asal Jerman tersebut di pasar AS.
Biasanya, Adidas akan menaikkan proyeksi tahunannya setelah mencatatkan laba kuartal pertama yang lebih baik dari perkiraan. Namun, kali ini hal tersebut tak dilakukan karena perusahaan asal Jerman itu masih mencermati efek dari tarif Trump.
CEO Adidas Bjoern Gulden mengatakan, arif yang lebih tinggi akan menyebabkan kenaikan harga di pasar AS. Kendati, hingga kini dia belum dapat dipastikan seberapa besar dampaknya terhadap permintaan konsumen atas produk Adidas.
"Saat ini tidak mungkin untuk mengukurnya atau menyimpulkan dampaknya terhadap permintaan konsumen atas produk kami,” kata Gulden seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (2/5/2025).
Adidas sebelumnya mengumumkan proyeksi laba operasional 2025 sebesar 1,7 miliar euro hingga 1,8 miliar euro atau sekitar Rp29,5 triliun, dengan pertumbuhan penjualan netral terhadap nilai tukar berada pada kisaran satu digit tinggi. Namun, perang dagang membuat prospek tersebut menjadi tidak pasti.
Baca Juga
"Kami tetap mempertahankan proyeksi tersebut, namun mengakui adanya risiko yang dapat menekan kinerja kami di sisa tahun ini," ucap Gulden.
Adidas juga menyebut, produksi sepatu dan pakaian masih bergantung pada negara seperti Vietnam dan Indonesia. Adapun kedua negara itu termasuk dalam daftar tarif tinggi AS.
Rinciannya, Vietnam mendapat salah satu tarif resiprokal yang tertinggi mencapai 46%. Sedangkan, Indonesia sebesar 32%. Produksi di AS sendiri dinilai nyaris tidak mungkin dilakukan saat ini.
Meski demikian, Adidas menyatakan komitmennya untuk tetap menghadirkan produk terbaik bagi mitra dan konsumen di AS dengan harga yang kompetitif.
"Memastikan bahwa mitra ritel kami di AS, serta konsumen kami di AS, tetap mendapatkan produk Adidas yang mereka inginkan dengan harga sebaik mungkin," ucap Gulden.
Di sisi lain, saham Adidas tercatat turun 8,2% sepanjang 2025. Kondisi ini masih lebih baik dibandingkan performa saham Nike Inc. dan Puma SE.
Adidas masih mendapatkan momentum kuat dari tren global sepatu klasik seperti Samba dan Gazelle, yang mendorong pertumbuhan pendapatan dan laba perusahaan. Kesuksesan ini juga dimanfaatkan Adidas untuk menarik pelanggan baru di segmen pakaian dan perlengkapan olahraga performa, serta memperluas tren ke model sepatu lain seperti Tokyo dan Taekwondo.
Namun, pengamat menilai tantangan masih membayangi Adidas, mulai dari dampak tarif AS, ketidakpastian ekonomi global, hingga potensi melambatnya tren sepatu retro. Selain itu, beberapa mitra grosir di AS disebut mulai mengurangi pesanan.
Analis RBC Capital Markets Piral Dadhania mencatat bahwa penjualan Adidas melampaui ekspektasi di semua pasar kecuali Amerika Utara, yang terdampak signifikan akibat berakhirnya kemitraan dengan rapper Ye untuk lini produk Yeezy.
“Adidas menunjukkan eksekusi yang baik di tengah kondisi konsumen yang sulit, dan mencatat pertumbuhan pendapatan dan laba tertinggi di antara perusahaan yang kami pantau,” ujar Dadhania.