Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga Internasional seperti Fitch Ratings maupun Dana Moneter Internasional atau IMF menyatakan bahwa rasio utang pemerintah di level 39,7% tergolong rendah dan akan bergerak stabil di kisaran 40%.
Namun demikian, rasio pajak yang rendah bukannya tanpa risiko. Rendahnya, cakupan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) telah memicu kehawatiran mengenai kemampuan bayar pemerintah untuk membayar utang.
Apalagi selama ini, praktik yang dijalankan pemerintah adalah gali lubang tutup lubang. Artinya, pemerintah menarik utang baru untuk membahar utang yang lama.
“Ketika rasio penerimaan utang kita terhadap PDB relatif enggak naik-naik, maka sebenarnya penambahan utang baru itu sangat berisiko,” ujar Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad kepada Bisnis, Minggu (27/4/2025).
Per 2024, rasio pajak terhadap PDB atau tax to GDP ratio tercatat sebesar 10,08% atau turun dari pertumbuhan 10,31% pada 2023.
Tauhid menjelaskan risiko dari bertambahnya utang tanpa diikuti dengan peningkatan penerimaan pajak menimbulkan konsekuensi pembayaran utang menggunakan utang baru alias “gali lubang tutup lubang”.
Baca Juga
Kekhawatiran kedua menurut Tauhid, yakni masih terbatasnya pendalaman di sektor keuangan. Pasalnya, kepemilikan utang berupa Surat Berharga Negara (SBN) masih didominasi oleh bank maupun lembaga nonbank, bukan individual.
Mengacu data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, kepemilikan individual terhadap SBN hanya mencakup Rp567,62 triliun atau 9,05% dari total SBN yang mencapai Rp6.270,24 triliun.
“Retailnya masih sedikit. Bahkan sekarang Bank Indonesia pegang juga [dengan nominal yang besar]. Kalau penduduk yang pegang realtif mereka akan semakin percaya transparansi pemerintah,” lanjut Tauhid.
Kekhawatiran lainnya, sekalipun lembaga internasional menyebut rasio utang rendah dan stabil, yakni tingkat suku bunga acuan maupun suku bunga SBN yang masih tinggi.
Kondisi ini justru dinilai Tauhid membuat perekonomian tidak bergerak karena membuat perbankan maupun sejumlah pihak lebih memilih menempatkan uangnya di obligasi, ketimbang menyalurkannya ke sektor riil.
“Kalau pertumbuhan ekonominya enggak jalan, pajak enggak akan tumbuh. Putarannya begitu,” lanjutnya.
Perputaran ketidakpastian berlanjut karena Bank Indonesia masih menahan suku bunga acuan atau BI Rate untuk ketiga kalinya pada tahun ini di level 5,75%.
Rasio Utang RI
Adapun UU No. 17/2023 tentang Keuangan Negara menetapkan batas aman rasio utang pemerintah sebesar 60% terhadap PDB.
Bank Dunia atau World Bank memproyeksikan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto/PDB akan meningkat ke level 40,1% pada akhir 2025, lebih rendah dari proyeksi Fitch Ratings yang sebesar 40,4%.
Per akhir Maret 2025, pemerintah telah menarik utang baru senilai Rp270,4 triliun. Meski demikian, belum diketahui posisi utang pemerintah terkini mengingat belum dilakukannya konferensi pers APBN Kita edisi April 2025 maupun belum terbitnya Buku APBN Kita sejak Januari 2025.
Sebelumya, Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah pada akhir Januari 2025 mencapai Rp8.909,14 triliun, atau naik Rp108,05 triliun dari posisinya di akhir 2024.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto menyampaikan meski mencatatkan kenaikan outstanding utang pemerintah pusat, namun secara rasio utang terhadap PDB masih terjaga di bawah 40%.
“Rasio utang masih relatif tetap. Desember 2024 sebesar 39,7%, Januari 2025 sebesar 39,6%,” ujarnya, Senin (10/3/2025).
Suminto menyampaikan bahwa pemerintah terus mengendalikan utang dengan upaya peningkatan penerimaan negara (collecting more), belanja yang berkualitas, efisien, dan produktif (spending better), dan pembiayaan yang pruden, kreatif, dan berkelanjutan. (prudent, creative, and sustainable financing).
Selain itu, utang tersebut juga digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (higher growth).