Eramet menyatakan, setelah melakukan penilaian mendalam, termasuk strategi pelaksanaan proyek, kedua mitra memutuskan untuk tidak melakukan investasi tersebut.
Geoff Streeton, Chief Development Officer Eramet, mengatakan bahwa perusahaan akan terus mengevaluasi potensi investasi dalam rantai nilai baterai nikel untuk kendaraan listrik di Indonesia dan akan terus memberikan informasi kepada pasar pada waktunya.
"Eramet tetap fokus untuk mengoptimalkan sumber daya tambang Weda Bay secara bertanggung jawab untuk memasok bijih kepada produsen nikel lokal dan terus mengeksplorasi peluang untuk berpartisipasi dalam rantai baterai nikel untuk kendaraan listrik di Indonesia," kata Geoff seperti dikutip dari pernyataan resmi Eramet, dikutip Selasa (25/6/2024).
Penjualan EV
BASF juga menyatakan akan mundur dari proyek smelter nikel-kobalt tersebut. Keputusan tersebut dipicu oleh pertumbuhan penjualan kendaraan listrik yang melambat.
BASF menyebut bahwa ketersediaan baterai berbasis nikel yang berkualitas secara global telah meningkat sejak proyek ini dimulai. Perusahaan tidak lagi melihat perlunya investasi sebesar itu.
Berdasarkan catatan Bisnis, BASF dan Eramet telah menandatangani kesepakatan untuk melakukan kajian pengembangan pabrik high-pressure acid leaching (HPAL) dan base metal refinery (BMR) di Weda Bay, Halmahera Tengah, Maluku Utara, sejak 2020.
Baca Juga
Pabrik HPAL tersebut akan mengolah bijih nikel dari deposit Weda Bay menjadi produk antara nikel dan kobalt, sementara BMR akan memasok nikel dan kobalt untuk memproduksi precursor cathode active materials (PCAM) dan cathode active materials (CAM) untuk baterai litium kendaraan listrik.
Proyek yang kemudian diberi nama Sonic Bay tersebut direncanakan akan menghasilkan sekitar 67.000 ton nikel dan 7.500 ton kobalt per tahun.
Komitmen Investasi
Sementara itu, nasib berbeda dialami oleh proyek baterai nikel yang digarap Indonesia dengan mitra asal China yakni China Contemporary Amperex Technology Co Ltd. (CATL).
Terungkap bahwa komitmen investasi CATL pada proyek baterai EV di Indonesia nilainya tidak mencapai separuh dari kesepakatan awal. Dalam pembentukan joint venture (JV) 5 bersama Indonesia Battery Corporation (IBC) di Proyek Dragon, CATL sepakat untuk berinvestasi senilai US$1,18 miliar atau setara Rp19,13 triliun.
Nilai investasi tersebut untuk membangun pabrik sel baterai dengan kapasitas produksi sebesar 15 gigawatt hour (GWh) per tahun. Namun, dalam persetujuan penanaman modal langsung luar negeri (ODI) dari pemerintah China yang diterima IBC, terungkap bahwa komitmen investasi tersebut turun lebih dari setengahnya.
"Dari ODI approval yang kami peroleh dari mereka [CATL] saat ini baru setengahnya. Jadi sekitar 6,9 GW atau US$417 juta [setara Rp6,75 triliun]," ujar Direktur Utama IBC Toto Nugroho dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR, Senin (17/2/2025).
Oleh karena itu, Toto mengatakan, pihaknya saat ini masih melakukan negosiasi dengan CATL. Negosiasi dilakukan untuk mencari solusi terkait perbedaan jumlah investasi tersebut.
Dukungan Pemerintah
Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pengembangan proyek baterai EV di Indonesia ialah tren pasar yang mayoritas masih menggunakan baterai berbasis besi atau lithium ferro phosphate (LFP).
Direktur Utama IBC Toto Nugroho, menyebut bahwa mayoritas kendaraan listrik di Indonesia menggunakan baterai LFP. Realitas tersebut menjadi tantangan tersendiri.
Pasalnya, baterai EV yang dikembangkan Indonesia merupakan berbasis nickel mangan cobalt (NMC).
"Peningkatan mobil listrik di Indonesia sangat signifikan, hampir 40.000 terjual di 2024. Namun, memang hampir 90%-nya yang berbasis LFP," ucap Toto.
Oleh karena itu, Toto mengingatkan pemerintah untuk memberikan dukungan agar penggunaan EV berbasis baterai nikel meningkat di Tanah Air.
Dia ingin pemerintah bisa memprioritaskan penggunaan EV hanya untuk yang berbasis NMC. Menurutnya, hal ini menjadi keniscayaan guna mendukung industri baterai EV berbasis NMC di Indonesia.
Apalagi, Indonesia merupakan negara dengan sumber daya nikel terbesar di dunia. "Bagaimana secara regulasi kita bisa memberikan prioritas untuk baterai-baterai yang sifatnya dari nikel yang di Indonesia memiliki resource-nya langsung," ungkap Toto.