Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Proyek Baterai Bareng BASF di RI Kandas, Eramet Merapat ke China

Eramet tengah menjajaki kerja sama dengan perusahaan asal China untuk proyek bahan baku baterai nikel di Weda Bay, Maluku Utara.
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pekerja melakukan proses pencetakan feronikel di salah satu pabrik tambang milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Eramet SA, perusahaan tambang asal Prancis, dikabarkan tengah menjajaki kerja sama dengan Zhejiang Huayou Cobalt Co. untuk memproduksi baterai berbasis nikel di Indonesia, setelah proyek serupa dengan BASF batal terealisasi.

Mengutip Bloomberg, Minggu (7/7/2024), Eramet sedang dalam pembicaraan untuk perjanjian pasokan bijih nikel ke smelter high-pressure acid leach (HPAL) yang dioperasikan oleh perusahaan China itu di Kawasan Industri Indonesia Weda Bay, menurut orang yang mengetahui masalah tersebut.

Salah satu sumber Bloomberg menyebut, Eramet juga mempertimbangkan untuk mengambil saham di pabrik Huafei yang dikendalikan oleh Huayou, yang merupakan fasilitas HPAL terbesar di dunia.

Juru bicara Eramet menolak untuk mengomentari pembicaraan tersebut. Dalam pernyataan sebelumnya, Eramet menyatakan bahwa mereka terus mengevaluasi investasi lebih lanjut di Indonesia. Huayou juga tidak segera menanggapi email permintaan komentar terkait hal tersebut.

Langkah ini menggarisbawahi kesulitan yang dihadapi perusahaan-perusahaan Barat dalam menciptakan rantai pasok mineral kritis yang bebas dari pengaruh China.

Bulan lalu, Eramet membatalkan rencana untuk membangun smelter nikel-kobalt yang akan memproduksi bahan baku baterai kendaraan listrik senilai US$2,6 miliar atau setara dengan Rp42,72 triliun (asumsi kurs Rp16.431 per US$), dengan perusahaan asal Jerman, BASF SE di Weda Bay, Halmahera Tengah, Maluku Utara, dengan alasan ketersediaan baterai berbasis nikel yang terus meningkat.

Proyek tersebut akan menjadi satu-satunya fasilitas HPAL di Indonesia dengan pemegang saham dari Barat, yang berpotensi membuatnya memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi yang besar di bawah kebijakan Inflation Reduction Act (IRA) Amerika Serikat (AS).

Adapun, perusahaan-perusahaan China telah mampu membangun smelter HPAL, yang mengolah bijih nikel menjadi bahan baku baterai, jauh lebih cepat dan lebih murah dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan Barat, tetapi juga menghadapi kekhawatiran mengenai bagaimana mereka mengelola limbah tailing yang memiliki risiko kontaminasi yang parah.

Akan ada banyak lagi smelter HPAL yang dibangun oleh perusahaan China akan beroperasi di Indonesia dalam beberapa tahun mendatang untuk memenuhi permintaan yang meningkat dari sektor kendaraan listrik.

Huayou telah mengoperasikan dua pabrik di Indonesia dan akan membangun dua pabrik lagi melalui kemitraan dengan Vale SA dari Brasil.

Nickel Industries Ltd yang terdaftar di Australia dan emiten milik taipan batu bara Kiki Barki, PT Harum Energy Tbk. (HRUM), juga sedang membangun pabrik dengan Tsingshan Holding Group.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper