Bisnis.com, JAKARTA - Ambisi Indonesia untuk menjadi pusat ekosistem baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) menghadapi jalan terjal usai sejumlah proyek pabrik baterai ditinggal investor. Terbaru, konsorsium Korea Selatan yang dipimpin LG memutuskan menarik proyek senilai 11 triliun won atau Rp130,7 triliun.
Melansir Yonhap, konsorsium yang dipimpin LG telah memutuskan untuk menarik proyek rantai pasokan baterai EV setelah melakukan konsultasi dengan pemerintah Indonesia. Seorang sumber mengatakan bahwa, keputusan tersebut dilakukan setelah mempertimbangkan kondisi perlambatan sementara permintaan EV global.
"Mempertimbangkan kondisi pasar dan lingkungan investasi, kami telah memutuskan untuk keluar dari proyek tersebut. Namun, kami akan melanjutkan bisnis kami yang ada di Indonesia, seperti pabrik baterai Hyundai LG Indonesia Green Power [HLI Green Power], usaha patungan kami dengan Hyundai Motor Group," kata seorang pejabat dari LG Energy Solution, Sabtu (19/4/2025).
Konsorsium tersebut, yang meliputi LG Energy Solution, LG Chem, LX International Corp, dan mitra lainnya, telah bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan sejumlah perusahaan milik negara untuk membangun ekosistem untuk baterai EV.
Inisiatif tersebut mencakup seluruh proses mulai dari pengadaan bahan baku hingga produksi prekursor, bahan katode, dan pembuatan sel baterai.
Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia yang menjadi bahan utama dalam baterai EV. Lebih lanjut, informasi konsorsium Korsel yang hengkang dari RI juga dibenarkan oleh Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID Dilo Seno Widagdo.
Baca Juga
"Kan kita sudah sama CATL, tapi yang sama LG batal," ujar Dilo ketika ditemui di Jakarta, Kamis (17/4/2025).
Dilo tak secara spesifik menjelaskan alasan LG tidak melanjutkan rencana investasinya. Dia hanya menyebut, terdapat banyak faktor yang membuat negosiasi dengan LG tidak mencapai kesepakatan.
Dengan hengkangnya LG, Dilo mengungkapkan bahwa ada inisiatif untuk menawarkan investasi baterai kepada perusahaan AS. Hal ini sebagai bagian dari paket negosiasi dalam merespons kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump.
Indonesia diganjar tarif impor resiprokal sebesar 32% oleh Trump lantaran menjadi salah satu penyumbang defisit perdangangan dengan AS.
"Proyek Titan ni kan enggak jadi. Nah, sekarang salah satunya itu yang kita tawarin, sebagai bagian daripada advokasi regulasinya kita negosiasi sama Amerika, kalau mereka mau," ungkap Dilo.
Ditinggal Investor
Adapun, ini bukan pertama kalinya proyek pabrik paterai nikel RI ditinggal oleh investor. Pada 2024 lalu, konsorsium dua perusahaan asal Eropa yakni Eramet SA, perusahaan tambang asal Prancis dan pabrikan kimia asal Jerman, BASF mengumumkan mundur dari proyek baterai nikel di Sonic Bay di Weda Bay, Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Eramet dan BASF semula akan menggarap proyek smelter nikel-kobalt yang akan memproduksi bahan baku baterai kendaraan listrik senilai US$2,6 miliar atau setara dengan Rp42,72 triliun (asumsi kurs Rp16.431 per US$) di Weda Bay, Maluku Utara.