Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Indonesia mulai memberikan penjelasan lengkap mengenai tarif baru yang diganjar Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia. Setidaknya, terdapat 3 skema tarif yang bakal ditanggung mitra dagang AS termasuk Indonesia.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag), Djatmiko Bris Witjaksono menjelaskan 3 skema tersebut diimplementasikan AS dalam rangka memperbaiki neraca dagang Negeri Paman Sam tersebut.
“Kebijakan tarif AS yang dikeluarkan setelah terpilih Presiden Donald Trump itu pada intinya terdiri dari 3 besaran tarif,” jelasnya dalam Konferensi Pers di Jakarta, Senin (21/4/2025).
Dia merinci, 3 skema tarif yang ditetapkan AS itu di antaranya Tarif Dasar Baru (New Baseline Tariff), Tarif Timbal Balik atau Tarif Resiprokal (Reciprocal Tariff), dan tarif sektoral (Sectoral Tariff).
Secara terperinci berikut penjelasan mengenai 3 skema tarif baru AS yang baru saja diteken oleh Presiden Donald Trump.
- Tarif Dasar Baru (New Baseline Tariff)
Tarif dasar baru sebesar 10% ditetapkan Amerika pada hampir seluruh mitra dagangnya. Kecuali Meksiko dan Kanada karena kedua negara tersebut memiliki pengaturan tarif tersendiri yang tertuang United States-Mexico-Canada Agreement (USMCA) atau Perjanjian AS – Meksiko – Kanada, yang merupakan perjanjian perdagangan bebas yang menggantikan NAFTA (North America Free Trade Agreement) atau Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara.
Baca Juga
Berbeda dengan tarif resiprokal, tarif dasar baru ini telah berlaku terhitung sejak 5 April 2025.
Sejumlah produk yang terimbas antara lain tekstil dari semula tarif yang ditanggung hanya di angka 5% hingga 10% naik menjadi 15% hingga 30%.
Sementara itu, untuk produk alas kaki semula tarif yang dikenakan yakni sebesar 8% hingga 20%. Usai kenaikan tarif baru, maka tarif yang dibayarkan pemerintah RI untuk melakukan impor alas kaki ada di kisaran 18% hingga 30%.
- Tarif Timbal Balik atau Resiprokal
Skema tarif baru yang ditetapkan AS di antaranya tarif timbal balik atau resiprokal. Di mana, Indonesia sendiri ditetapkan untuk membayar bea masuk sebesar 32%.
Djatmiko menjelaskan, semulanya implementasi tarif resiprokal bakal dilakukan pada 9 Juli 2025. Akan tetapi, lantaran memantik banyak respon maka implementasinya ditunda selama 90 hari.
“Kenapa resiprokal tarif itu besarannya beda-beda, jadi tergantung dari besaran nilai defisit ataupun surplus [mitra dagang AS] nanti dibagi dengan nilai ekspor ke AS,” jelasnya dalam konferensi pers, Senin (21/4/2025).
Djatmiko mencontohkan, Indonesia yang dikenakan tarif resiprokal sebesar 32% berasal dari kinerja defisit AS terhadap Indonesia sebesar US$18 miliar dibagi dengan total ekspor ke AS sebesar US$28,1 miliar.
Dengan demikian, muncul besaran tarif resiprokal di angka 63,7%. Dalam penetapannya, pemerintah AS memberikan potongan sebesar 50% dari total tarif resiprokal sehingga Indonesia diganjar tarif timbal balik sebesar 32%.
- Tarif Sektoral
Selain dua skema tarif di atas, pemerintah AS juga menetapkan tarif sektoral tambahan sebesar 25%. Di mana, tarif ini hanya menyasar sektor tertentu di antaranya baja, aluminium, otomotif dan komponen otomotif.
“Tarif sektoral ini dikenakan terhadap beberapa komoditi atau sektor tertentu. Ada baja, aluminium dan nanti rencananya dari informasi yang kami peroleh itu akan ada sektor-sektor lainnya yang akan juga dikenakan tarif sektoral,” jelas Djatmiko dalam Konferensi Pers di Jakarta, Senin (21/4/2025).
Mengacu pada paparan yang disampaikan, semulanya tarif sektoral produk baja yang ditetapkan AS terhadap Indonesia ada di level 0% – 5%, usai keputusan tersebut posisinya naik menjadi 25% – 30%.
Kemudian, produk aluminium semula 0% –5% menjadi 25% – 30%, produk otomotif dan komponen otomotif semula 2,5% menjadi 27,5%.