Bisnis.com, JAKARTA – Saling balas pemberlakuan tarif impor antara Amerika Serikat dan China semakin meningkatkan risiko eskalasi perang dagang.
Melansir Reuters, Rabu (5/3/2025), China resmi membekukan izin impor kedelai dari tiga perusahaan AS serta menghentikan impor kayu gelondongan AS pada Selasa sebagai langkah balasan terhadap tarif tambahan yang diberlakukan AS terhadap produk China.
Selain itu, Beijing juga memberlakukan tarif baru senilai US$21 miliar terhadap berbagai produk pertanian dan makanan asal AS, termasuk kedelai, gandum, daging, dan kapas.
Otoritas bea cukai China menyatakan bahwa tiga perusahaan AS yang terdampak kebijakan ini adalah CHS Inc, koperasi pertanian milik petani AS; Louis Dreyfus Company Grains Merchandising LLC, eksportir biji-bijian global; serta EGT, operator terminal ekspor biji-bijian.
Dalam keterangannya, Bea Cukai China mengklaim bahwa penghentian impor kedelai disebabkan oleh temuan kontaminasi ergot dan zat pelapis biji, sementara penghentian impor kayu gelondongan dikarenakan adanya cacing, aspergillus, serta jenis hama lainnya.
Sejauh ini, perwakilan Louis Dreyfus, CHS, dan Bunge Global—pemilik sebagian saham EGT—belum memberikan pernyataan terkait keputusan tersebut.
Baca Juga
Langkah ini merupakan respons langsung atas kebijakan Presiden AS Donald Trump yang mulai memberlakukan tarif tambahan 10% terhadap produk China pada Selasa.
Dengan kebijakan baru ini, tarif kumulatif terhadap barang-barang China kini mencapai 20%. Washington beralasan kebijakan ini diperlukan karena China dianggap lamban dalam mengatasi penyelundupan fentanyl ke AS.
Sekitar 50% ekspor kedelai AS dikirim ke China, dengan total nilai perdagangan mencapai hampir US$12,8 miliar sepanjang 2024, menurut data Biro Sensus AS.
Langkah Beijing menghentikan impor kayu gelondongan dari AS merupakan respons langsung terhadap perintah Presiden Donald Trump pada 1 Maret untuk menggelar investigasi perdagangan terhadap kayu impor.
Sebelumnya, Trump menyatakan dirinya tengah mempertimbangkan penerapan tarif 25% pada kayu dan produk kehutanan AS.
Analis pertanian di Trivium China Even Pay mengatakan pembatasan impor kedelai dan kayu AS dengan dalih isu fitosanitasi mencerminkan strategi yang telah lama digunakan Beijing dalam sengketa perdagangan.
”Volume impor dalam skala besar dan karakteristik alami kedelai serta kayu membuatnya rentan terhadap persoalan kesehatan tanaman dan hama, menjadikannya sasaran yang mudah dalam perang dagang,” jelasnya.
China sendiri merupakan salah satu importir terbesar produk kayu dunia serta pasar terbesar ketiga bagi ekspor produk kehutanan AS. Sepanjang 2024, China mengimpor sekitar US$850 juta kayu gelondongan dan produk kayu kasar lainnya dari AS, berdasarkan data bea cukai China.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan China dalam pernyataan resminya mengumumkan akan mengenakan tarif tambahan sebesar 15% pada ayam, gandum, jagung, dan kapas asal AS, serta pungutan tambahan sebesar 10% pada kedelai, sorgum, daging babi, daging sapi, produk akuatik, buah-buahan, sayur-sayuran, dan impor susu asal AS mulai 10 Maret 2025.
"Langkah-langkah tarif sepihak dari AS tersebut secara serius melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia dan merusak dasar kerja sama ekonomi dan perdagangan antara China dan AS," kata Kementerian Perdagangan China dalam pernyataan terpisah.
Tekan Mata Uang di Asia
Ketidakpastian akibat perang dagang berisiko semakin membebani mata uang di kawasan Asia karena selera risiko melemah. Padahal, mata uang di kawasan ini sejak awal tahun mulai tergerus setelah beberapa bank sentral menurunkan suku bunga guna menopang pertumbuhan ekonomi.
Manajer dana Manulife Investment Management Eric Lo menilai risiko terhadap mata uang Asia semakin besar, terutama jika pemerintahan AS semakin agresif dalam kebijakan tarifnya.
“Selain itu, preferensi bank sentral Asia untuk memangkas suku bunga tahun ini berpotensi menahan penguatan mata uang di kawasan,” jelasnya seperti dikutip Bloomberg.
Bank sentral Korea Selatan dan Thailand telah menurunkan suku bunga untuk merangsang pertumbuhan, langkah yang berlawanan dengan kebijakan moneter di negara-negara seperti Brasil. Di sisi lain, penguatan dolar AS setelah kemenangan Trump juga menekan mata uang Asia lebih dalam.
Kepala tim utang pasar negara berkembang Neuberger Berman Rob Drijkoningen mengatakan optimisme terhadap prospek mata uang Asia sulit terlihat.
”Imbal hasil yang rendah serta tekanan tarif AS terhadap China menjadi faktor negatif, meski tarif yang diterapkan tidak setinggi ancaman awal sebesar 60%,” ungkapnya.
Untuk mengurangi volatilitas, Drijkoningen mengalihkan investasinya ke negara-negara dengan korelasi lebih rendah terhadap AS, seperti Brasil dan Sri Lanka.
Menurut analisis abrdn Plc, mata uang Asia akan semakin bergejolak akibat ketidakpastian perdagangan global. Namun, ada secercah harapan jika ekonomi AS melambat, sehingga memaksa The Fed bersikap lebih dovish dan mengurangi pendekatan proteksionis Washington.
"Asalkan pertumbuhan ekonomi AS melemah lebih dari ekspektasi, mata uang Asia masih bisa bertahan terhadap dolar," ungkap Direktur Investasi Pendapatan Tetap Asia abrdn Edmund Goh.