Bisnis.com, JAKARTA – Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) terus mengawal regulasi tunjangan hari raya (THR) untuk pengemudi transportasi online seperti ojek online, taksi online, dan kurir yang akan diterbitkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
Ketua SPAI Lily Pujiati menyampaikan, pihaknya menuntut agar pemerintah mewajibkan perusahaan transportasi online untuk membayar THR kepada para pengemudi transportasi online.
“Besarannya adalah satu bulan upah minimum provinsi dan diberikan 30 hari sebelum hari raya Idulfitri,” kata Lily dalam keterangannya, dikutip Kamis (20/2/2025).
Lily menuturkan, permintaan tersebut berlandaskan Undang-undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam beleid itu menyebut soal hubungan kerja yang meliputi unsur pekerjaan, upah dan perintah.
Dia mengatakan, ketiga unsur tersebut sudah terpenuhi dalam hubungan kerja antara perusahaan dengan para pengemudi transportasi online.
“Ketiga unsur itu sudah terpenuhi di dalam hubungan kerja antara platform dan pengemudi ojol,” katanya.
Baca Juga
Kemenaker sebelumnya telah memberi sinyal mengenai status driver ojol Cs, yang sebelumnya dikenal sebagai mitra.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker Indah Anggoro Putri menyampaikan, pihaknya kini menganggap para pengemudi transportasi online sebagai pekerja.
Indah menuturkan, keyakinan tersebut didukung oleh tim dan pakar dari sejumlah Universitas yang digunakan Kemenaker agar lebih percaya diri dalam menyebut driver ojol sebagai pekerja.
Pertama, karena adanya karakteristik atasan dan bawahan lantaran pengusaha platform digital mewajibkan ojol, taksi online, dan kurir online dipotong pendapatannya.
“...sehingga mereka posisinya di bawah dari pengusaha,” kata Indah dalam rapat dengan pendapat dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (18/2/2025).
Kemudian dari hasil kajian Kemenaker, sudah ada 6 negara yang menetapkan ojol cs sebagai pekerja, alih-alih menjadi mitra. Status tersebut bahkan telah diatur dalam UU negara tersebut. Negara itu yakni Singapura, Uni Eropa, Kanada, Spanyol, Inggris, dan Belanda.
Bahkan, kata Indah, Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization/ILO) mulai tahun ini hingga 2027 telah memasukan pembahasan gig workers dalam agenda persidangan.
“Secara hukum dan kepatuhan standar-standar internasional, sepertinya kita sudah harus menyebut mereka sebagai pekerja,” imbuhnya.
Mengenai status tersebut, Indah menyebut bahwa pihaknya terus berkomunikasi dengan aplikator untuk dapat memahami hal ini.
Selain itu, dia juga memohon dukungan Komisi IX DPR RI agar rancangan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) mengenai pelindungan pekerja platform digital untuk proses harmonisasi.
“Kami mohon dukungan dari Komisi IX untuk proses harmonisasinya,” pungkasnya.