Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kepada sejumlah negara berpotensi memangkas pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 0,5%.
Senior Currency Analyst MUFG, Lloyd Chan menjelaskan ketidakpastian perdagangan kemungkinan akan berlanjut pada masa jabatan Trump yang kedua. Dia mengatakan, AS telah mengumumkan tarif sebesar 10% untuk China dan tarif untuk Meksiko dan China yang ditunda pemberlakuannya.
Adapun, MUFG mengeluarkan tiga skenario kebijakan tarif Trump dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia. Skenario pertama, dengan asumsi hanya tarif 10% kepada China yang diberlakukan, Lloyd memperkirakan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia terbilang kecil, yakni hanya 0,2%.
Artinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 diprediksi berada pada level 4,9%-5%, atau di bawah target pemerintah sebesar 5,2%.
Selanjutnya, skenario kedua adalah pemberlakuan tarif 30% untuk China dan 10% untuk negara-negara lain di dunia. Dengan asumsi tersebut, MUFG memproyeksikan hal itu akan memangkas Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 0,3%.
"Sementara itu, skenario ketiga adalah jika Trump merealisasikan janji-janjinya saat kampanye Presiden AS, yakni tarif 60% untuk China dan 10% untuk negara lainnya. Kami memperkirakan itu akan memangkas pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,5%," jelas Chan.
Baca Juga
Dia menjelaskan, dampak utama dari kebijakan tarif Trump terhadap Indonesia adalah melambatnya pertumbuhan ekspor dan investasi. Hal serupa pernah terjadi saat perang dagang di masa jabatan pertama Trump pada 2018-2019.
"Ekspor tidak banyak pertumbuhan selama periode itu. Kita bisa melihat hal itu terjadi lagi tahun ini jika AS mulai menaikkan tarif ke depannya," ujar Chan.
Chan melanjutkan, kondisi makroekonomi Indonesia untuk menghadapi perang tarif jilid kedua cukup resilien jika dibandingkan dengan 2016, bagian pertama perang tarif yang dipicu kebijakan Trump sebagai Presiden AS. Dia mengatakan, pertumbuhan ekonomi pada kedua periode itu bergerak di level yang sama, yakni 5%.
Sementara itu, tingkat inflasi dan inflasi inti jauh lebih baik pada 2024 bila dibandingkan dengan 2016 lalu. Kemudian, indeks keyakinan konsumen, keseimbangan fiskal, dan cadangan devisa juga berada di level yang lebih baik pada 2024 dibandingkan dengan 2016.
Di sisi lain, dia menuturkan, tantangan utama Indonesia untuk menghadapi perang dagang kedua ini adalah tingkat suku bunga yang masih cukup tinggi. Tercatat, pada akhir 2024 lalu suku bunga acuan Indonesia masih berada di level 6% berbanding dengan 4,75% pada akhir 2016.
"BI [Bank Indonesia] harus mempertimbangkan tingginya suku bunga AS. Jika BI memangkas suku bunga lebih cepat dibandingkan The Fed, maka rupiah bisa melemah," kata Chan.