Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) menilai kebijakan wajib simpan devisa hasil ekspor (DHE) 100% dalam jangka waktu 1 tahun dapat menghantam industri mebel dan kerajinan nasional yang berorientasi ekspor, padat karya, dan sangat terhubung dengan rantai pasok global.
Ketua Himki Abdul Sobur mengatakan, mestinya kebijakan DHE tidak ditujukan bagi sektor industri kreatif yang mengedepankan inovasi dan nilai tambah serta padat karya. Menurut dia, DHE mestinya untuk sektor yang merupakan milik hajat hidup banyak seperti sektor pertambangan minyak, gas, batu bara.
“Terdapat potensi kendala dalam akses devisa untuk impor, di mana industri mebel masih ada sejumlah komponen dan bahan baku impor tertentu seperti kayu tertentu dengan sertifikasi khusus, hardware berkualitas tinggi, hingga bahan finishing premium serta fabric,” kata Sobur kepada Bisnis, Rabu (5/2/2025).
Dana yang dihasilkan dari ekspor juga diperlukan untuk modal usaha, termasuk pengadaan mesin produksi berteknologi tinggi juga memerlukan akses terhadap devisa karena harus impor.
Pelaku usaha saat ini pun cemas dengan kewajiban menyimpan DHE di dalam negeri yang dapat membuat akses langsung ke valuta asing lebih terbatas atau lebih mahal. Apalagi, jika ada selisih kurs yang merugikan eksportir saat melakukan konversi mata uang.
“Dampak terhadap daya saing di pasar global di mana kompetitor dari negara lain seperti Vietnam dan China memiliki kebijakan yang lebih fleksibel dalam pengelolaan DHE,” tuturnya.
Baca Juga
Menurut Sobur, fleksibilitas pengelolaan DHE di negara-negara tersebut dapat lebih cepat dan efisien dalam melakukan pengadaan bahan baku serta investasi teknologi.
Dengan kondisi tersebut, jika dibiarkan bukan tidak mungkin industri mebel Indonesia terhambat dan ada risiko penurunan daya saing akibat potensi keterlambatan produksi, peningkatan biaya, atau penurunan kualitas produk.
Tak hanya itu, risiko terhadap cash flow dan keberlanjutan usaha. Sobur menerangkan likuiditas perusahaan dapat terganggu terutama bagi eksportir kecil UMKM yang sangat bergantung pada fleksibilitas penggunaan DHE untuk kebutuhan operasional dan ekspansi.
“Jika perputaran modal menjadi lebih lambat akibat regulasi ini, perusahaan bisa kesulitan dalam memenuhi pesanan besar atau berinvestasi dalam pengembangan produk baru,” jelasnya.
Untuk itu, Sobur meminta pemerintah menimbang dengan cermat agar kebijakan ini tidak menjadi hambatan bagi eksportir sektor industri kreatif yang justru sedang butuh dukungan masif dari pemerintah.
“Pemerintah perlu memberikan pengecualian atau mekanisme yang lebih fleksibel bagi industri kami yang membutuhkan devisa untuk impor bahan baku tertentu dan mesin produksi,” tegasnya.
Dia mengharapkan ada skema yang mengizinkan perusahaan menarik DHE dalam jumlah tertentu tanpa batasan waktu, asalkan digunakan untuk keperluan produktif.
Pelaku usaha mebel juga meminta adanya insentif khusus seperti kurs preferensial bagi eksportir yang terkena dampak kebijakan ini.
“Bahkan, pemberian insentif itu diwujudkan dengan nilai tukar khusus sesuai janji pemerintah yang pernah disampaikan untuk kami tahun 2019 bahwa hasil devisa di kembalikan 1% pada industri mebel dan kerajinan nasional dalam bentuk dukungan yang komprehensif melalui kementrian terkait,” jelasnya.
Di sisi lain, dia juga menilai pentingnya penghapusan pajak atas konversi DHE ke rupiah agar eksportir tidak mengalami kerugian nilai tukar.
Lebih lanjut, Sobur menuturkan apabila DHE harus tetap disimpan di dalam negeri, pemerintah dan bank sentral harus menjamin bahwa suku bunga yang ditawarkan untuk simpanan tersebut lebih kompetitif dibandingkan instrumen keuangan di luar negeri, sehingga eksportir tidak merasa dirugikan.
“Pemerintah juga dapat mendorong fasilitas lindung nilai [hedging] dengan biaya rendah agar eksportir dapat melindungi diri dari risiko fluktuasi nilai tukar selama periode penyimpanan DHE,” terangnya.