Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Ritel: Stok Minyakita di Pasar Masih Timbul Tenggelam

Pengusaha ritel menyebut stok minyak goreng Minyakita di pasar masih belum stabil.
Pedagang menata Minyakita di Bandung, Jawa Barat. Bisnis/Rachman
Pedagang menata Minyakita di Bandung, Jawa Barat. Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA — Menjelang 100 hari masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka, peritel mengaku ketersediaan minyak goreng kemasan sederhana Minyakita di pasar masih timbul tenggelam.

Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan bahwa stok Minyakita kerap kali tidak tersedia di pasar.

“Saat ini kami masih merasakan kekurangan seperti minyak goreng Minyakita di toko-toko kami, itu masih ada kekurangan,” kata Budi, Rabu (22/1/2025).

Padahal, kata Budi, Minyakita diproduksi dari dalam negeri. Maka dari itu, dia berharap pemerintah bisa memenuhi stok sembilan bahan pokok (sembako) seperti Minyakita.

“Kami harapkan kalau bisa kayak minyak goreng, kebutuhan bahan pokok sembako itu bisa dipenuhi stok-stoknya tetap ada, jangan kosong,” ujarnya.

Menurutnya, kondisi ini berbanding terbalik dengan cita-cita pemerintah yang ingin menuju swasembada pangan. Ditambah lagi, pemerintah juga menegaskan untuk tidak mengimpor empat komoditas pangan seperti beras konsumsi, gula konsumsi, garam konsumsi, dan jagung pakan pada 2025.

Budi menilai, jika pemerintah bertekad untuk menyetop keempat komoditas pangan tersebut, diharapkan agar ketersediaan pasokan juga dijamin, setidaknya untuk kebutuhan dalam negeri yang diproduksi dari dalam negeri.

“Ketersediaan Minyakita kadang ada kadang enggak, kami harapkan itu bisa dipenuhi. Kalau mau swasembada pangan nggak cuma barang impor disetop, tapi ketersediaan stoknya [terpenuhi],” imbuhnya.

Dihubungi terpisah, Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Eliza Mardian mengkritisi penghentian impor pangan. Menurutnya, penghentian impor merupakan suatu proses yang bertahap dan membutuhkan strategi yang matang.

“Jangan sampai setop impor mendadak ini menjadi backfire bagi pangan kita,” kata Eliza.

Misalnya saja, kata dia, kebijakan pembatasan impor jagung pada 2016 sempat turun 2,17 juta ton. Namun di saat yang bersamaan terjadi lonjakan impor gandum yang naik 3 juta ton karena untuk menggantikan jagung pakan.

Eliza mengatakan perlu dipastikan strategi untuk meningkatkan produksi dalam negeri, sehingga volume impor bisa berkurang. Jika ingin meningkatkan produksi, kata dia, maka langkah awalnya adalah dengan memberikan kepastian harga dan pasar kepada petani.

“Niat baik menyetop impor amat sangat baik dan prlu kita dukung. Namun semua berproses agar tidak menimbulkan persoalan lain,” ujarnya.

Selain itu, Eliza juga menyoroti penutupan keran impor garam. Menurutnya, penyetopan impor garam perlu dilakukan secara hati-hati sebab biasanya produksi garam akan turun saat terjadi La Nina.

Apalagi, dia mengungkap bahwa produksi garam dalam negeri hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sebesar 34%. Semestinya, lanjut Eliza, untuk komoditas dengan intensitas ketergantungan impor yang tinggi perlu dikurangi secara perlahan.

“Kebijakan setop impor garam tanpa strategi yang matang ini akan berdampak ke kenaikan harga di konsumen,” pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rika Anggraeni
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper