Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (Gipi) mengungkap, usaha hiburan seperti karaoke, diskotek, kelab malam, dan bar terancam berguguran usai Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil terkait pengkhususan tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada keempat bisnis tersebut.
Ketua Umum Gipi Hariyadi B. Sukamdani menyampaikan, tarif minimal pajak hiburan yang dipatok pemerintah dalam Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yakni 40% akan memberatkan operasional bisnis tersebut.
“Akan banyak yang berguguran kalau si pengusahanya itu mau patuh mengikuti aturan. Saya rasa berat untuk bisa bertahan,” kata Hariyadi kepada Bisnis, Senin (6/1/2025).
Konsekuensi lainnya, yakni maraknya kolusi antara pengusaha dengan pemerintah setempat agar bisnisnya tidak perlu membayar pajak hiburan minimal 40%.
Keputusan ini juga dinilai dapat mengurangi daya tarik wisata. Mengingat, ada kemungkinan pelaku usaha akan menarik biaya yang lebih tinggi agar dapat bertahan di tengah pajak hiburan minimal 40%.
“Ini kan salah satu elemen karena ada peminatnya gitu loh, untuk yang hiburan-hiburan kayak gini,” imbuhnya.
Baca Juga
Di sisi lain, insentif perpajakan berupa PPh Badan ditanggung pemerintah (DTP) 10%, yang disebut dapat menjadi solusi bagi pengusaha, sebagaimana tertuang dalam Pasal 101 UU HKPD, juga tak banyak diberikan oleh pemerintah-pemerintah daerah.
Hariyadi mengungkap, sejauh ini hanya pemerintah daerah Bali yang memberikan insentif untuk pelaku usaha di provinsinya.
“Yang lain nggak ada tuh insentifnya,” ujarnya.
Dalam catatan Bisnis, MK menolak permohonan uji materiil pengkhususan PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Dalam permohonannya, para pelaku usaha menginginkan besaran tarif PBJT tersebut tidak diperlakukan khusus, termasuk adanya potensi pengenaan pajak ganda atas PBJT.
Melalui Putusan MK Nomor 19/PUU-XXII/2024, MK menilai bahwa dalil para pemohon berkenaan dengan frasa 'dan mandi uap/spa dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD yang menetapkan pajak mandi uap/spa sebesar paling rendah paling rendah 40% dan paling tinggi 75% yang diklasifikasikan sama dengan kelompok hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar merupakan tindakan ketidakadilan dan diskriminatif adalah tidak beralasan menurut hukum.
Selain itu, berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2022, objek pajak daerah dan retribusi daerah yang termasuk jenis jasa kesenian dan hiburan dikecualikan dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN). Karena itu, tidak terdapat pengenaan pajak ganda sebagaimana yang didalilkan para pemohon.