Bisnis.com, JAKARTA — DPR menilai langkah Kementerian Keuangan yang menertapkan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 11/12 untuk 'mengakali' penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (DPP) menimbulkan kerancuan di tengah masyarakat.
Ketua Komisi XI DPR Misbakhun menilai seharusnya pajak hanya untuk barang mewah, sedangkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku 11%.
“Peraturan ini menimbulkan keresahan di masyarakat, di mana beberapa perusahaan retail telah memungut PPN sebesar 12%,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (3/1/2025).
Kementerian Keuangan sendiri menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 11/12 dikali PPN 12% untuk membuat pajak yang dikenakan relatif 11% seperti semula.
Alhasil, aturan pelaksanaan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya karena menggunakan dasar pengenaan dengan nilai lain 11/12.
“Di mana ada penafsiran tunggal seakan-akan UU HPP tidak bisa menerapkan tarif PPN dengan multi tarif,” lanjutya.
Baca Juga
Anggota DPR dari fraksi Partai Golkar tersebut menyebutkan padahal sangat jelas bahwa Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pasal 7 tmencatat tidak ada larangan soal multi tarif PPN sehingga tidak ada larangan soal penerapan tarif PPN 11% dan PPN 12% diterapkan bersamaan sekaligus.
Kini, justru tarif PPN 11% untuk yang tidak naik dan tarif PPN 12% hanya untuk barang dan jasa mewah.
Misbakhun memandang persiapan dan pembuatan keputusan yang sangat mepet dengan pelaksanaan perubahan tarif PPN tidak memberikan waktu kepada pengusaha untuk mempersiapkan perubahan di dalam sistemnya.
Walaupun pada akhirnya PPN terutang dapat dihitung ulang menggunakan mekanisme pada SPT Masa PPN, tetapi membuat masyarakat harus membayar lebih dari yang seharusnya.
Menurutnya, sudah seharusnya Kementerian Keuangan dalam hal ini Ditjen Pajak membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multi tafsir, dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya.
“Tidak seharusnya Ditjen Pajak membuat penafsiran ataupun membuat ketentuan yang berbeda dengan perintah presiden sehingga bisa berakibat timbulnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpin tertingginya,” tutupnya.
Adapun Prabowo Subianto baru mengumumkan PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah pada penghujung tahun atau 31 Desember 2024 sore hari. Enam jam sebelum PPN 12% resmi berlaku.
Sementara dalam Media Briefing Ditjen Pajak, Kamis (2/1/2025), Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengamini bahwa dengan keterbatasan waktu tersebut, pihaknya harus menggunakan infrastruktur yang sudah ada dalam Undang-Undang (UU) PPN, yakni menggunakan DPP nilai lain.
“Seperti apa untuk menetralisir 12% menjadi 11%? Caranya ya kita tetepakan semacam koefisian yang menjadi nilai lain, 11/12 x 12% sama dengan 11%. Ini kira-kira yang menjadi pertimbangan, dibandingkan dengan cara yang lain, ini paling mungkin kita jalankan,” ujarnya.