Bisnis.com, JAKARTA - Beberapa tahun terakhir, Indonesia berkomitmen untuk mengembangkan penghiliran nikel melalui pembangunan smelter (peleburan) dan refinery (pemurnian) guna meningkatkan nilai tambah produk nikel.
Indonesia, hingga saat ini telah membangun 42 pabrik pengolahan, 35 pabrik sedang dalam konstruksi, dan 59 pabrik lagi dalam tahap perencanaan. Total semuanya mencapai 136 pabrik, baik smelter maupun refinery. Namun, di balik rencana besar ini, terdapat permasalahan besar terkait pasokan bijih nikel. Apakah langkah impor bijih nikel adalah solusi yang tepat bagi Indonesia?
Sebagai penghasil nikel terbesar di dunia, Indonesia memiliki cadangan bijih nikel yang sangat besar. Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM, cadangan bijih nikel Indonesia yang berkadar di atas 1,5% diperkirakan mencapai 3,4 miliar ton. Adapun sumber daya yang ada mencapai 7,5 miliar ton.
Berdasarkan rencana pembangunan industri pengolahan nikel yang ambisius, diperkirakan kebutuhan bijih nikel kadar tinggi akan mencapai sekitar 413 juta ton per tahun untuk memenuhi kapasitas semua smelter piromealurgi (RKEF) yang dibangun. Sayangnya, cadangan bijih nikel berkadar tinggi ini diperkirakan hanya dapat bertahan di bawah 10 tahun jika digunakan secara maksimal.
Di sisi lain, Indonesia juga memiliki sumber daya bijih nikel dengan kadar rendah (limonite), yang diperkirakan mencapai 9,8 miliar ton, dengan cadangan sekitar 1,7 miliar ton. Bijih nikel kadar rendah ini dapat digunakan untuk teknologi hidrometalurgi yang digunakan dalam proses refinery. Dibutuhkan sekitar 50 juta ton bijih nikel kadar rendah per tahun untuk mendukung teknologi ini. Artinya, cadangan bijih nikel kadar rendah Indonesia dapat bertahan di atas 30 tahun.
Meski Indonesia memiliki cadangan bijih nikel yang melimpah, permasalahan utama yang dihadapi adalah keterbatasan bijih nikel berkadar tinggi (saprolite). Guna memenuhi kebutuhan pabrik peleburan yang direncanakan, kebutuhan bijih nikel kadar tinggi sangat besar. Indonesia diperkirakan akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan bijih nikel berkadar tinggi dalam jangka panjang dikarenakan cadangan yang terbatas. Hal ini menjadi alasan utama mengapa beberapa perusahaan smelter memilih untuk mengimpor bijih nikel, meskipun Indonesia adalah pemilik cadangan nikel terbesar di dunia.
Baca Juga
Kondisi ini mengarah pada dilema yang sulit. Di satu sisi, Indonesia harus melaksanakan penghiliran untuk meningkatkan nilai tambah nikel dengan pembangunan industri pengolahan (smelter dan refinery) yang sangat agresif, di sisi lain terbatasnya pasokan bijih nikel berkadar tinggi menjadi hambatan besar dalam pencapaian tujuan tersebut. Oleh karena itu, impor bijih nikel dari negara lain menjadi solusi sementara untuk menjaga agar industri smelter tetap berjalan.
Di luar bijih nikel berkadar tinggi, Indonesia masih memiliki cadangan bijih nikel kadar rendah yang cukup besar. Bijih nikel ini bisa digunakan untuk teknologi hidrometalurgi, yang memungkinkan pengolahan bijih nikel kadar rendah menjadi produk bernilai tambah seperti dukungan untuk industri baterai kendaraan listrik (battery EV).
Meskipun cadangan bijih nikel kadar rendah ini cukup melimpah, tantangan terbesar adalah pengembangan dan penguasaan teknologi hidrometalurgi yang dapat memprosesnya secara efisien.
PEMBATASAN & REGULASI
Selain keterbatasan pasokan bijih nikel, pemerintah Indonesia juga memberlakukan pembatasan kuota produksi untuk menjaga keberlanjutan cadangan nikel. Pembatasan ini bertujuan untuk memastikan bahwa cadangan bijih nikel yang ada tidak cepat habis, tetapi kebijakan ini berpotensi membatasi pasokan bijih nikel untuk smelter yang ada. Salah satu dampaknya adalah peningkatan ketergantungan pada impor bijih nikel untuk memenuhi kebutuhan bahan baku smelter.
Selain itu, masalah terkait RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) yang belum sepenuhnya terselesaikan juga menjadi kendala bagi beberapa perusahaan smelter dalam mendapatkan pasokan bijih nikel yang cukup. RKAB yang belum final seringkali membuat proses perizinan dan pembagian kuota produksi menjadi terhambat, yang pada akhirnya mendorong perusahaan-perusahaan smelter untuk mengimpor bijih nikel guna memenuhi kebutuhan produksi mereka.
Pemerintah seyogianya dapat segera melakukan kebijakan untuk eksplorasi secara masif terutama di daerah frontier (green field) untuk menemukan sumber daya bijih nikel. Diperkirakan wilayah yang belum tersentuh eksplorasi lebih dari 50% terutama di wilayah timur Indonesia termasuk Papua Barat. Perusahaan dapat melakukan brown field exploration untuk mengonversi sumber daya menjadi cadangan dengan menggunakan kode KCMI secara benar untuk memastikan keakuratan datanya.
Impor bijih nikel memang dapat menjadi solusi jangka pendek untuk menjaga kelangsungan industri smelter Indonesia. Langkah lain yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan proses merger & acquisition (M&A) tambang nikel di luar negeri seperti Filipina, Australia, New Caledonia, dan lainnya sebagai alternatif bahan baku smelter. Jangka panjang, Indonesia perlu fokus pada pemanfaatan bijih nikel kadar rendah yang melimpah dengan pengembangan teknologi yang lebih efisien. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya mengandalkan cadangan bijih nikel berkadar tinggi yang terbatas, tetapi juga bisa memanfaatkan potensi besar yang ada pada bijih nikel kadar rendah.
Selain itu, pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk menyelesaikan masalah terkait pembatasan produksi dan RKAB. Penyelesaian masalah regulasi ini akan memastikan pasokan bijih nikel dalam negeri bisa terkelola dengan baik, sehingga ketergantungan pada impor dapat diminimalkan.