Bisnis.com, JAKARTA — Cuaca ekstrem yang berpotensi memicu banjir di sentra produksi pangan menjadi ancaman serius yang perlu diantisipasi pemerintah. Ketahanan pangan yang tengah digalakkan selama ini menghadapi tantangan dari alam.
Pemerintah perlu mengukur dampak yang terjadi terhadap lahan pertanian dan petani seiring adanya peringatan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
BMKG meminta masyarakat untuk tetap harus waspada terhadap ancaman banjir, tanah longsor, hingga gelombang tinggi.
Terlebih, BMKG mencatat bahwa intensitas curah hujan tinggi di Jawa Timur pada Desember 2024 akan mencapai peluang curah hujan menengah (51-150 mm) lebih dari 70%, sementara curah hujan tinggi (151-300 mm) lebih dari 60%.
Adapun, sejumlah wilayah yang diprediksi rawan banjir meliputi Blitar, Gresik, Jember, Malang, Pacitan, dan Probolinggo.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyampaikan adanya potensi cuaca ekstrem yang dapat memicu bencana hidrometeorologi di wilayah Jawa Timur dan Bali.
Baca Juga
“Kondisi global ini meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia, termasuk Jawa Timur dan Bali. Meski fenomena ini diprediksi netral pada awal 2025, masyarakat tetap harus waspada terhadap ancaman banjir, tanah longsor, dan gelombang tinggi,” kata Dwikorita dilansir dari laman resmi BMKG.
Sementara itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyarankan agar pemerintah memetakan wilayah yang berpotensi terkena banjir akibat cuaca ekstrem.
Di samping itu, pemerintah juga perlu memberikan uang pengganti kepada para petani untuk wilayah yang terdampak banjir sesuai dengan tingkat kerusakan.
“Karena asuransi pertanian dalam proses klaimnya juga sangat sulit, lebih baik pemerintah sudah memetakan mana yang kemungkinan akan terkena banjir, tingkat kerusakan seberapa besar. Jadi mereka dikasih uang pengganti,” kata Andreas saat dihubungi Bisnis.
Dihubungi terpisah, Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menyebut peringatan dari BMKG harus menjadi perhatian para pihak, mulai dari pemerintah pusat, daerah hingga petani bahwa ada potensi banjir besar yang terjadi di sentra-sentra produksi pangan.
Khudori menuturkan, jika terjadi banjir besar dan menggenangi sawah, lahan pertanian, serta tanaman terendam dalam beberapa hari, maka tanaman berpotensi mati. Begitu pun jika tanaman yang terendam banjir dan masih hidup, namun pertumbuhannya tidak akan optimal.
“Perbaikan irigasi hingga saluran penting untuk memastikan air banjir bisa dialirkan ke luar dari sawah atau lahan pertanian. Persiapan ini mestinya sudah dilakukan saat musim kemarau pada April—September,” terang Khudori kepada Bisnis.
Selain itu, Khudori juga menyebut perlu dipastikan kesiapan input produksi jika harus ada penanaman susulan, mulai dari benih, pupuk hingga modal.
Untuk itu, menurutnya diperlukan asuransi pertanian sebagai antisipasi untuk memastikan petani tetap bisa berproduksi meski hambatan eksternal selalu ada.
“Sebagai bagian antisipasi risiko, asuransi pertanian penting dimassalkan dan dimasifkan,” ungkapnya.
Jika menengok neraca pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), Khudori menyampaikan bahwa stok beras, jagung, kedelai, dan gula akhir tahun relatif aman. Bahkan, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi awal tahun hingga Idul Fitri di akhir Maret atau awal April 2025.
Di sisi lain, kata dia, daging ayam dan telur ayam perlu penambahan produksi. Hal ini termasuk untuk antisipasi tambahan permintaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada awal Januari 2025.
Khudori menambahkan, pemerintah juga perlu memperhatikan ketersediaan bawang merah, bawang putih, cabai. Pasalnya, produksi cabai dan bawang merah fluktuatif membuat harga terus bergejolak.
Sedangkan untuk bawang putih, lanjut dia, perlu adanya pemantauan terhadap importir lebih ketat. “Harga bawang putih terus naik, setidaknya bertahan tinggi. Padahal, harga di China nggak selalu tinggi,” tandasnya.