Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom mempertanyakan formula yang ditetapkan pemerintah untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2025 sebesar 6,5%.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan bahwa penetapan upah minimum menjadi 6,5% di semua wilayah akan memicu disparitas daerah yang menghadapi inflasi. Terlebih, wilayah Indonesia Timur mengalami inflasi yang tinggi.
Badan Pusat Stastik (BPS) mencatat bahwa seluruh provinsi mengalami inflasi secara tahunan pada November 2024. Adapun, inflasi provinsi secara tertinggi terjadi di provinsi Papua Tengah sebesar 4,35 persen year-on-year (yoy).
“Kalau kenaikan upah minimum dipatok 6,5% ke semua daerah, maka ada disparitas daerah-daerah yang menghadapi inflasi tinggi, daya belinya pasti akan lebih tertekan masyarakatnya. Jadi ini merupakan formulasi yang aneh,” kata Bhima kepada Bisnis, Rabu (4/12/2024).
Lebih lanjut, Bhima mengatakan, jika melihat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), maka semestinya formulasi pengupahan berubah. Namun, yang ditetapkan pemerintah masih menggunakan formulasi yang lama.
“Sebenarnya ini masih menggunakan konsep yang lama tidak ada perubahan signifikan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Padahal, Undang-Undang Cipta Kerja diputus inkonstitusional dan harus dikeluarkan bagian klaster ketenagakerjaan,” tuturnya.
Baca Juga
Adapun, skenario terburuk dengan pemerintah hanya menaikkan UMP dan UMK 2025 sebesar 6,5% dikhawatirkan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut Bhima, impian Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% sulit tercapai.
“Jangankan [ekonomi] 8% tahun 2025 ke depan, bahkan pertumbuhan ekonomi diramal hanya tumbuh 4% karena daya beli terlalu tergerus oleh berbagai pungutan dan tarif yang dibebankan kepada para pekerja,” ujarnya.
Bhima menuturkan, jika pemerintah memukul rata kenaikan UMP 6,5% ke semua daerah, maka konsekuensi yang terjadi adalah beberapa daerah yang memiliki tingkat inflasi lebih tinggi dan akan memicu disparitas daya beli antar wilayah.
Untuk itu, menurutnya, UMP dan UMK 2025 sebesar 6,5% dinilai terlalu rendah. “Kecuali, semua beban kle pekerja tahun depan dibatalkan,” imbuhnya.
Di sisi lain, Bhima memandang, relokasi pabrik atau investasi karena upah rendah tidak selalu relevan. “Relokasi lebih disebabkan oleh faktor infrastruktur, biaya logistik, konsistensi kebijakan, nilai ICOR, dan adopsi teknologi,” tandasnya.