Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia belum lama menyaksikan perpindahan tampuk kepemimpinan nasional yang mulus, dari era pemerintahan Joko Widodo ke Prabowo.
Dalam pidato pelantikannya Presiden Prabowo menyatakan tekad untuk mencapai swasembada energi dalam masa kepemimpinannya.
Misi ini sangat menarik untuk dikaji di tengah kondisi impor migas Indonesia yang selalu meningkat sejak tahun 2004, rendahnya energi per kapita (yang dipercaya menjadi faktor utama penyebab rendahnya produktivitas industri nasional), serta rendahnya peran energi terbarukan dalam bauran energi nasional.
Secara teoritis, untuk sebuah negara berkembang, pengelolaan energi seharusnya diarahkan menuju terciptanya energi berkeadilan melalui peningkatan akses energi secara merata dengan tata kelola energi yang lebih efisien.
Dalam rangka mendukung tujuan tersebut, produksi gas bumi perlu diprioritaskan untuk pemenuhan domestik dan pengurangan ekspor secara bertahap. Kebijakan ini menggeser paradigma gas bumi yang tidak lagi diposisikan sebagai komoditas ekspor tetapi sebagai economic driver.
MENUJU INDONESIA BERDIKARI ENERGI
Energi merupakan sektor krusial bagi ketahanan nasional suatu bangsa. Sebagai negara kepulauan yang memiliki wilayah geografis yang luas, Indonesia cukup beruntung karena dikaruniai potensi sumber daya energi baik berupa energi fosil maupun “energi hijau”. Keberadaan potensi ini hendaknya dikelola sebaik-baiknya agar memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sesuai amanat konstitusi UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3. Hal ini kemudian didukung dan dipertegas dalam salah satu misi Asta Cita yang dicanangkan Prabowo-Gibran untuk mencapai swasembada energi.
Baca Juga
Prinsip utama keterjaminan ketahanan energi nasional secara berkelanjutan adalah ketersediaan energi (available), kemudahan akses (accessible), dan keterjangkauan (affordable). Lebih lanjut, energi haruslah dipandang sebagai modal dasar pembangunan dan bukan hanya sebagai komoditas devisa sehingga peningkatan jaminan pasokan dan cadangan energi untuk keperluan domestik menjadi prioritas untuk mewujudkan Indonesia berdikari energi.
Tak dapat dimungkiri bahwa kontribusi sektor migas untuk pemenuhan energi dalam negeri dan komoditas ekonomi masih sangat signifikan, mengingat tingginya angka permintaan pengguna migas di berbagai sektor. Sayangnya fenomena ini juga diikuti dengan masih tingginya impor migas khususnya minyak bumi. Hal ini menjadi celah signifikan bagi cita-cita kemandirian energi nasional.
Meskipun dunia bertransisi ke arah energi hijau, amanat yang terkandung dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) melalui PP 79 Tahun 2014 merujuk pada optimasi bauran energi, sehingga peran migas tidak dihindari dan dikecilkan, melainkan dikendalikan. Oleh karena itu, kemandirian energi yang berkelanjutan dapat diakselerasi jika pemerintah mampu menerapkan tata kelola energi secara terintegrasi dengan cara, pertama, optimalisasi sumber energi berbasis migas yang potensial secara berkelanjutan, dan kedua, akselerasi pemanfaatan energi baru dan terbarukan.
PENGUATAN PERAN GAS
Di sektor migas, optimasi tata kelola perlu menjangkau inovasi teknologi, regulasi, dan skema investasi. Peningkatan cadangan migas Indonesia dapat dicapai melalui eksplorasi masif untuk menemukan lapangan baru dan giant reserve yang didukung inovasi teknologi mutakhir. Negara dapat berperan lebih dalam penataan konsep kontrak kerja sama dan investasi yang lebih menarik untuk mengatasi lesunya investasi hulu migas dengan tetap memperhatikan penguatan porsi dan kedaulatan Indonesia dalam mengolah dan menikmati sumber dayanya. Peningkatan kemampuan olah kilang minyak dan pembangunan infrastruktur kilang baru perlu dipertimbangkan dalam peningkatan produksi minyak.
Di tengah percepatan transisi energi, penguatan peran gas bumi sebagai ”katalis” transisi dapat menjadi solusi menengah mengingat Indonesia masih memiliki jumlah cadangan gas yang besar (sekitar 41,62 triliun kaki kubik persegi, berdasar data Kementerian ESDM 2022). Dengan potensi ini, Indonesia menjadi negara dengan cadangan gas alam terbesar kedua di Asia Pasifik setelah Tiongkok. Merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), setidaknya pemanfaatan gas bumi ditargetkan mencapai 22% (2025) dan 24% (2050), sebagai porsi kedua setelah energi terbarukan. Beberapa negara lain seperti Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Jerman, dan Tiongkok juga menerapkan strategi serupa dengan tetap mempertahankan gas dalam bauran energinya di tengah gencarnya pemanfaatan energi terbarukan.
Sifat gas bumi sebagai energi fosil yang rendah emisi serta kemudahan konversi energinya (digunakan di pembangkit listrik) maupun bahan baku industri cocok sebagai ”jembatan” pemenuhan permintaan energi utamanya di sisi hilir untuk terus memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan hasil kajian Pusat Studi Energi UGM (2018), pemanfaatan gas di Indonesia masih memberikan multiplier effect signifikan bagi produk domestik bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Salah satu pekerjaan rumah di sektor hilir gas yaitu peningkatan infrastruktur perpipaan Indonesia di mana panjang pipa gas Indonesia masih kurang dari 20.000 km (jauh di bawah Thailand dan Malaysia). Secara sosiologis, peningkatan minat masyarakat tentang potensi pemanfaatan gas di berbagai sektor hilir (misal: transportasi dan jaringan gas) cukup penting untuk memberikan pembiasaan dan memacu kemauan bertransisi (willingness of transition) secara bertahap dari minyak bumi menuju gas, dan nantinya sepenuhnya menggunakan energi terbarukan.
TATA KELOLA
Secara umum, integrasi tata kelola energi hendaknya mempertimbangkan kesiapan teknologi dan daya saing masing-masing sumber energi di Indonesia saat ini, di mana strategi jangka pendek perlu fokus pada peningkatan lifting minyak dan penguatan peran gas di industri, transportasi, dan masyarakat yang sejauh ini sudah dimanfaatkan. Selanjutnya, opsi kebijakan yang mendorong pemenuhan permintaan (demand) perlu diupayakan. Meskipun strategi nasional menyiratkan bahwa pemerintah bermaksud untuk membangun pasar gas di berbagai sektor, penyebaran komersial melalui strategi sisi permintaan diperlukan untuk menarik investasi di sepanjang rantai nilai (strategi tarik-pasar).
Sementara itu, swasembada di sektor EBT di Indonesia perlu didukung oleh penguatan kontribusi industri domestik misalnya dengan adanya insentif bagi industri pembuat/pendukung komponen pembangkit EBT yang selama ini harus diimpor. Industri pendukung EBT harus memiliki roadmap yang jelas agar dapat kompetitif baik dari sisi harga maupun kualitas sehingga dapat menjadi substitusi impor komponen EBT. Sinergi dengan perguruan tinggi dan lembaga riset dalam inovasi teknologi keenergian harus terus dipacu untuk menciptakan karya anak bangsa maupun solusi mandiri atas permasalahan energi nasional. Di sektor akademik, pemerintah perlu mengambil peran dalam menetapkan agenda penelitian strategis dan menanggung risiko atas pengembangan inovasi di tahap awal serta menarik investasi swasta dalam proses scale up penelitian agar mampu implementatif.
Selain itu, strategi elektrifikasi berbasis EBT juga penting untuk diadaptasi untuk mempercepat penggunaan energi listrik ”hijau” pada aktivitas lahap energi yang sebelumnya tidak menggunakan listrik. Hal ini mempercepat kemandirian energi dengan memperhatikan prinsip energy equity di mana energi seharusnya bisa diakses oleh siapapun dan di manapun dengan harga yang terjangkau. Perwujudan ketahanan dan kemandirian energi seyogyanya perlu memperhatikan tren dunia atas clean energy carrier and storage seperti hidrogen, ammonia, dan metal fuels sebagai emerging technology yang bisa diadaptasi dalam roadmap kebijakan energi Indonesia dalam mencapai target net zero emission (NZE).
Indonesia memerlukan instrumen ekonomi yang komprehensif di bidang energi untuk memastikan realisasi seluruh ide pembangunan kedaulatan energi, khususnya dalam menuju transisi energi yang berkelanjutan. Di sektor migas, perlu ada alternatif pendanaan dan insentif khusus untuk memitigasi risiko investasi yang terkait dengan proyek strategis pada tahap produksi dan distribusi. Pemerintah dapat berperan untuk mengatasi situasi yang tidak pasti di mana kebijakan penciptaan permintaan saja tidak dapat membuat proyek layak secara finansial atau mengatasi kegagalan pasar. Di sektor energi terbarukan, akses ke sumber energi terbarukan yang terjangkau dan melimpah juga penting, misalnya melalui rancangan ”hub energi terbarukan” mulai skala desa (bagi wilayah yang memiliki potensi energi terbarukan tinggi seperti surya, angin, dan biomassa) dengan melibatkan komunitas setempat. Ide tersebut dapat menjadi alternatif yang baik menuju kemandirian energi dengan menjamin pasokan sumber energi terbarukan mulai dari level lokal.
Lebih lanjut, pemerintahan baru dan DPR perlu memberi kepastian hukum untuk memperbaiki iklim investasi, dengan meninjau tumpang-tindih peraturan serta diharapkan mampu menyelesaikan revisi Undang-Undang Migas (UU Nomor 22 Tahun 2001) yang telah bergulir di DPR sejak beberapa tahun lalu. Seiring dengan urgensi transisi energi, sinkronisasi beberapa peraturan seperti UU Energi (UU Nomor 30 Tahun 2007) dan UU Ketenagalistrikan (UU Nomor 30 Tahun 2009) dengan beberapa konsep Rencana Pembangunan Jangka Menengah/Panjang Nasional (RPJMN/RPJPN), Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN), prioritas nasional, proyek strategis nasional, dan rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan yang belakangan dicanangkan perlu ditinjau ulang agar tercipta suatu peta jalan komprehensif yang saling bersinergi sebagai panduan pembangunan sektor energi.
Terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mempercepat kemandirian energi melalui penguatan peran gas bumi dan integrasi tata kelola menuju energi berkelanjutan. Continuous improvement di sisi teknologi, sinkronisasi regulasi, kepastian skema investasi yang atraktif, simplifikasi perizinan dan peningkatan porsi investasi negara (insentif) diharapkan dapat memacu tumbuhnya investasi. Peningkatan kecakapan sumber daya manusia bidang energi juga perlu terus diupayakan. Di sisi lain, penguatan peran BUMN energi sebagai agent of change dan ujung tombak pengelolaan energi Indonesia perlu terus diupayakan. Visi pembangunan keenergian Indonesia perlu berpihak pada (1) daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) serta pedesaan, (2) sinergi dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan (3) mengikuti kaidah “people follow energy” untuk memberikan dampak nyata perekonomian bagi masyarakat.