Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bos BI Waspadai Perang Tarif Dagang Usai Trump jadi Presiden AS

Gubernur BI Perry Warjiyo mewaspadai perang tarif yang akan Donald Trump lakukan saat menjadi presiden, karena dapat memengaruhi ekonomi global.
Pemenang Pemilu Presiden Amerika Serikat 2024 Donald Trump (tengah), Istri Melania Trump (kiri) dan Putra mereka Barron Trump. / Bloomberg-Eva Marie Uzcategui
Pemenang Pemilu Presiden Amerika Serikat 2024 Donald Trump (tengah), Istri Melania Trump (kiri) dan Putra mereka Barron Trump. / Bloomberg-Eva Marie Uzcategui

Bisnis.com, JAKARTA — Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mewaspadai perang tarif yang akan dilakukan Presiden AS Donald Trump saat mulai memimpin pada 2025.

Perry melihat dari kebijakan ekonomi maupun politik yang akan berbeda dari petahana Joe Biden, Trump akan mengutamakan ekonomi negaranya atau inward looking.

"Artinya apa? Kepada negara mitra akan menerapkan tarif perdagangan yang tinggi. Terutama kepada negara yang mengalami surplus besar terhadap AS, yakni China, Eropa, Meksiko, dan Vietnam," ujarnya dalam konferensi pers pekan lalu. 

Kemungkinan, kata Perry, Trump akan mulai melaksanakan tarif perdagangan yang tinggi pada semester II/2025.

Misalnya, AS akan mematok tarif sebesar 25% untuk besi alumuniun maupun kendaraan dari Eropa. Hal serupa juga akan berlaku kepada barang-barang China yang masuk ke Negeri Paman Sam tersebut.

Tarif yang tinggi ini kemudian kami sebut sebagai fragmentasi perdagangan, yang kemudian akan menyebabkan perlambatan ekonom di negara terdampak.  

"China yang selama ini melambat kemungkinan akan lebih melambat. Uni Eropa yang mau naik [ekonominya], kemungkinan enggak jadi naik," tutur Perry.

Alhasil, dirinya melilhat ekonomi global berpotensi tumbuh lebih lambat dari yang berbagai lembaga perkirakan.

Salah satunya Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) yang sebelumnya memprediksi ekonomi global akan tumbuh 3,2%. Melalui kondisi perang tarif ini, berpotensi prediksi tersebut terpangkas menjadi 3,1%. 

Sebelumnnya, Direktur IMF Asia-Pasifik Krishna Srinivasan pada sebuah forum di Cebu memperingatkan aksi perang tarif dapat merusak prospek ekonomi di kawasan Asia, meningkatkan biaya dan mengganggu rantai pasokan. 

"Tarif balasan yang saling balas mengancam akan mengganggu prospek pertumbuhan di seluruh kawasan, sehingga menyebabkan rantai pasokan menjadi lebih panjang dan kurang efisien," katanya dikutip dari Reuters, Selasa (19/11/2024).

Tarif dapat menghambat perdagangan global, menghambat pertumbuhan di negara-negara pengekspor, dan berpotensi meningkatkan inflasi di Amerika Serikat, sehingga memaksa Bank Sentral AS untuk memperketat kebijakan moneternya, meskipun prospek pertumbuhan global kurang baik.

Di Indonesia, AS tercatat menjadi mitra dagang utama. Perdagangan Indonesia dengan AS pun selalu membuah surplus bagi Tanah Air. Berbanding terbalik dengan China di mana neraca perdagangan Indonesia selalu defisit.

Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto menjelaskan bahwa Trump hanya akan memberikan sanksi tarif tersebut terhadap negara yang memiliki surplus lebih besar, seperti China, Vietnam, dan Meksiko.

Meskipun neraca dagang Indonesia dengan AS juga surplus, tetapi tidak sebesar ketiga negara tersebut. Untuk itu, dampaknya pun tidak akan terlalu terasa di dalam negeri. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper