Bisnis.com, JAKARTA - Eramet SA, perusahaan tambang asal Prancis, menyebut bahwa pemerintah Indonesia membatasi pasokan bijih nikel untuk melindungi penambang lokal.
Perusahaan yang mengoperasikan salah satu tambang nikel terbesar dunia di Maluku Utara itu, tahun ini diberi kuota penjualan nikel 29% lebih rendah dari yang diharapkan.
Pembatasan yang dilakukan pemerintah Indonesia dimaksudkan untuk melindungi para penambang lokal dari penurunan harga nikel global. Namun, langkah ini juga menyebabkan pergeseran produksi ke bijih nikel dengan kadar yang lebih tinggi yang digunakan untuk membuat baja tahan karat atau stainless steel.
Akibatnya, pasokan bijih nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik berkurang sehingga memaksa pabrik peleburan atau smelter dalam negeri untuk mengimpor bijih nikel yang lebih mahal.
“Mereka ingin mempertahankan harga yang baik untuk bijih nikel di pasar,” kata Jerome Baudelet, Chief Executive Officer Eramet Indonesia, dalam sebuah wawancara, dikutip dari Bloomberg, Sabtu (23/11/2024). “Mereka ingin melindungi para penambang kecil lokal,” imbuhnya.
Nikel yang digunakan untuk membuat baja tahan karat dan baterai kendaraan listrik, telah mengalami kemerosotan selama 2 tahun karena lemahnya permintaan dan meledaknya pasokan dari Indonesia. Hal ini memaksa beberapa produsen di negara lain untuk menutup pabrik mereka dan juga memberikan tekanan pada smelter-smelter di negara-negara Asia Tenggara yang sudah menghadapi harga bijih yang tinggi karena kekurangan pasokan.
Indonesia saat ini menyumbang lebih dari separuh produksi nikel global setelah adanya larangan ekspor bijih nikel yang menyebabkan ledakan pembangunan smelter, yang sebagian besar dilakukan oleh perusahaan-perusahaan China. Di sisi pertambangan, produksi sangat terfragmentasi antara sejumlah besar perusahaan lokal kecil dan beberapa penambang internasional besar seperti Eramet dan Vale SA.
Baca Juga
Baudelet menuturkan, karena pembatasan penjualan, para penambang telah memprioritaskan penjualan bijih nikel berkadar tinggi yang biasanya digunakan dalam produksi baja nirkarat. Hal ini mengorbankan produksi bijih nikel kadar rendah atau limonit yang biasanya diolah menjadi bahan baku baterai di smelter high pressure acid-leach (HPAL).
Baudelet mengatakan, smelter-smelter tersebut, yang merupakan kunci dari ambisi Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam kendaraan listrik, dipaksa untuk mengimpor bijih nikel dengan biaya yang sangat tinggi.
Eramet dapat mengajukan kuota penjualan yang lebih tinggi pada tahun depan, yang dapat meringankan ketatnya pasar bijih. Hal ini mungkin akan menjadi lebih mendesak karena Indonesia terus meningkatkan kapasitas pengolahannya.